Mohon tunggu...
Bang Edi
Bang Edi Mohon Tunggu... lainnya -

Sekarang Warga RW 015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Balsem Jokowi

19 Juni 2013   04:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:47 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membaca kembali buku-buku usang. Saya menemukan sesuatu yang amat menarik. Sesuatu yang terkait dengan situasi dan kondisi republik saat ini. Alkisah, Mahkamah Agung Belanda memutus tanggung jawab keluarga hanya oleh kepala keluarga. Keputusan yang keluar lantaran keberatan seorang anak, anggota keluarga, yang dibebankan oleh pemerintah Belanda untuk mengembalikan subsidi yang pernah diberikan kepada keluarga itu. Hikmah mendasar yang dapat saya petik dari bacaan tersebut adalah bahwa subsidi bukan pemberian cuma-cuma alias harus dikembalikan pada saat penerima subsidi dianggap telah mampu. Dihitung hutang, begitulah pendek kata.

Tetapi, di sini. Di republik ini. Ketika orang se-populer Jokowi menawarkan konsep lain dari mekanisme subsidi, buru-buru ia di-stigma sebagai menolak kebijakan pemerintah. Dan, tidak kurang dari dua menteri ambil bagian untuk menegurnya. Padahal jika diadakan uji manfaat antara konsep mekanisme penyaluran subsidi versi pemerintah dengan gagasan pemberian subsidi tukang mebel itu, saya yakin seyakin-yakinnya yakin; gagasan Mas Joko jauh lebih bermanfaat. Maaf. Saya tidak sedang dalam posisi membela Pak Gubernur. Saya bukan pengacara beliau. Tapi, ini persoalan akal sehat.

Ada kandungan filosofis mendalam saat Jokowi menyebut BLSM dengan kata ‘balsem’ yakni, mengobati. Memang begitulah seharusnya manfaat subsidi, mengobati. Menjadi daya untuk bangkit dari penyakit utama umat manusia; kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Bagi seseorang yang gemar mengkambinghitamkan pemerintah, kemiskinan di republik ini adalah kemiskinan lantaran kesalahan struktural. Kebodohan pun akibat salah urus pada struktural. Demikian juga keterbelakangan, karena mismanagement struktural. Sehingga beberapa waktu lalu srring kita lihat tayangan televisi sebuah adegan orang berteriak, “Sebenarnya saya tidak miskin. Saya dimiskinkan oleh undang-undang!” Menyaksikan fenomena seperti ini, apakah pemerintah akan tetap memosisikan dirinya sebagai kambing hitam? Pemerintah yang cerdas tentu akan memilih tidak.

Pemerintah yang punya empati kepada rakyat semestinya membuat kebijakan yang dapat menguntungkan masa depan rakyat. Menyalurkan subsidi sebagai modal usaha kecil sebagaimana digagas oleh Jokowi adalah satunya. Di luar urusan takdir dan nasib, memiliki usaha adalah jalan keluar dari belenggu kemiskinan. Menyediakan sarana dan prasarana pendidikan berkualitas bagi rakyat tidak mampu adalah juga bagian dari upaya mengentaskan kemiskinan. Duitnya dari mana? Ya, dari subsidi itu.

Jika seseorang penerima subsidi dengan mekanisme ini di kemudian hari berhasil apakah akan dibebaskan begitu saja untuk menikmati keberhasilannya sendiri? Tidak! Seperti di cerita subsidi Belanda. Kepada penerima subsidi yang berhasil itu harus dibebankan pengembalian agar dapat diberikan kepada yang lain. Agak bertele-tele, ribet dan kurang nyaman. Begitulah balsem.

Pemerintah boleh skeptis memandang masa lalu tentang penyaluran subsidi dalam bentuk pinjaman melalui Dewan Kelurahan di Jakarta yang tidak jarang menjerumuskan anggota Dewan Kelurahan ke penjara karena menyelewengkan uang pinjaman. Dan, silakan pemerintah menaruh curiga kepada rakyat lantaran berdasarkan pengalaman masa lalu, tidak sedikit rakyat enggan mengembalikan uang pinjaman dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Tapi, itu bukan alasan untuk meniadakan program penyaluran subsidi yang bagus ini. Belajarlah dari pengalaman masa lalu agar tidak menjadi salah pada masa mendatang.

Sekali lagi, mendorong dan membantu rakyat agar dapat menolong dirinya sendiri untuk keluar dari belenggu kemiskinan jauh lebih bermanfaat dari pada sekedar membagi-bagi uang seratusmapuluhrebu untuk kepentingan 2014.

Kedoya, 19 Juni 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun