Mohon tunggu...
Edgar Pontoh
Edgar Pontoh Mohon Tunggu... Freelancer - Hominum

In search of meaning

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Candu Digital dan Dilema Sosialnya

7 Januari 2021   22:09 Diperbarui: 8 Januari 2021   05:19 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by @GabrielsNotes. Quote by @Nava

Kritik mungkin bisa dianggap ujaran kebencian bagi pihak yang memiliki bias antara substansi yang terkandung dalam konten dan nilai yang ada pada dirinya. Bisa jadi dia tidak setuju dengan kritik tersebut dan dianggap sebagai ujaran kebencian. Begitu pula sebaliknya. Belum lagi kemungkinan adanya interfensi dari pihak-pihak luar yang bisa mengendalikan orang-orang ini dalam memoderasi konten.

Jika ada yang harus dilakukan Facebook untuk menebus tanggung jawabnya, itu adalah dengan membuka integrasi kontennya dengan pihak-pihak ketiga. Ini bisa lembaga independen, universitas, dan pemerintah (yang terus bisa diawasi independensinya oleh publik). Dengan tujuan agar beberapa konten yang ramai bisa dicek dan dilakukan semacam peer-review sederhana antar pihak untuk mengidentifikasi ujaran kebencian, mengklasifikasikan kemungkinan kelompok umur, dan memberikan rujukan sumber lain. 

Secara teknis, proses ini bisa dilakukan secara otomatis begitu semua infrastruktur di tiap stakeholder telah siap di sisi database maupun integrasi dengan platform Facebook itu sendiri. Cara ini hanya menandai konten dengan rujukan informasi lain. Sederhananya, memudahkan pengguna untuk tidak mencari sendiri sumber pembanding dengan memberikan sumber independen. Konten juga bisa ditandai kalau-kalau ada indikasi ujaran kebencian. Sialnya, cara ini sangat sulit dilakukan mengingat jaringan Facebook mencakup seluruh dunia.

Problem solved? Jika tujuannya adalah untuk memusnahkan sepenuhnya konten negatif, tentu tidak. Selama kita ingin menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi baik di dunia nyata maupun di internet, selama itu pula kita tidak bisa membayangkan seliar apa suatu konten akan ada disana. 

Cara tadi hanya menggunakan konsep diskursus sederhana: menyediakan ruang bagi antitesis. Sisanya kembali kepada kemampuan berpikir penggunanya. Kemampuan berpikir kritis dan menilai secara objektif adalah masalah dasar pendidikan, and that deserve a whole entire different discussion other than this.

Bagaimana dengan masalah candu? Facebook mungkin mulai bisa mengingatkan pengguna untuk menghirup udara segar, memperhatikan sekeliling atau berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata, ketika pengguna sudah terlalu lama menggunakannya. Itu awal yang baik, walaupun kita tahu itu sedikit melenceng dari tujuan perusahaan yang ingin mempertahankan pengguna selama mungkin di dalam platform.

Kenyataannya banyak hal baik terjadi karena Facebook. Orang-orang yang bertemu dan menjalin hubungan baik di dunia nyata ada yang berawal dari sana. Orang tua, saudara atau teman yang sudah lama terpisah bisa dipertemukan kembali disana. Banyak kebaikan dibagikan disana. Pekerjaan sosial, bantuan kepada yang membutuhkan, cerita kebaikan dari seluruh dunia terkumpul disana. 

Dibalik semua itu saya rasa penting untuk kita sadar satu hal yang menjadi poin penting tulisan ini bahwa: Facebook bisa dibilang sudah bukan alat lagi, seperti yang saya bilang di awal tulisan. Alat sebagaimana alat yang lain adalah objek pasif yang menunggu untuk dipakai. Facebook tidak demikian. Dia dirancang untuk menuntut sesuatu dari kita. Perhatian kita. Dia berusaha keras untuk membuat kita terus menggunakannya, bahkan ketika fungsinya sebagai alat sebenarnya sudah tidak esensial lagi untuk membantu kita menjalani kehidupan.

Apakah kita akan "membunuh" media sosial karena sisi itu dengan mengorbankan sisi baiknya? Apakah kita memilih untuk kembali ke dunia tanpa media sosial saja atau pilihan lebih sulitnya: memikirkan bersama bagaimana mempertahankan pencapaian kita sebagai umat manusia untuk sampai di titik dimana kita bisa melampaui batas ruang dan waktu untuk saling berbagi kebaikan?

Beberapa kali rencana saya untuk berhenti menggunakan Facebook tidak berhasil. Saat mencoba berhenti, tidak ada satupun pengetahuan saya soal apapun yang saya tulis disini. Yang ada di pikiran saat itu hanyalah bagaimana menantang diri saya untuk lebih aware di dunia nyata dan berhenti menjadi tidak sopan dengan terus melihat ponsel saat kumpul-kumpul keluarga. Alhasil, Facebook selalu berhasil menarik saya kembali ke dunianya. 

Di pikiran saya waktu itu, mungkin saya akan ketinggalan informasi yang penting. Teman-teman saya akan mengetahui sesuatu lebih dari saya. Ada istilah untuk ini: FOMO (Fear of missing out), takut ketinggalan. Suatu kecemasan sosial yang menganggap bahwa segala hal yang terjadi di media sosial itu butuh diperhatikan, bahkan untuk sesuatu yang tidak penting. Ini menyebabkan ilusi bahwa media sosial adalah hal yang esensial untuk hidup kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun