Mohon tunggu...
Edgar Pontoh
Edgar Pontoh Mohon Tunggu... Freelancer - Hominum

In search of meaning

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stigma, Glorifikasi, dan Self-Diagnosis

11 November 2019   23:28 Diperbarui: 12 November 2019   10:05 2003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: opustreatment.com

Orang-orang yang memakai media sosial juga cenderung membangun citra diri mereka, sadar maupun tidak sadar. Glorifikasi ini adalah produk dari pembangunan citra diri tersebut melalui trend yang lahir.

Glorifikasi adalah perilaku yang cenderung memikirkan imej paling ideal dari sesuatu. Glorifikasi musik misalnya. Orang yang mengglorifikasi musik akan melihat semua aspek yang 'keren' pada musik itu. 

Pengglorifikasian ini akan membuat orang secara sadar maupun tidak, 'mewarisi' hal-hal yang dianggap keren pada hal yang dia glorifikasi (dalam hal ini misalnya musik) pada dirinya sendiri, sehingga dia melihat dirinya sendiri 'keren' (karena mewarisi hal yang dianggapnya keren), dan berharap orang lain juga berpikir demikian. 

Mewarisi, dalam hal ini bisa berupa ikut-ikutan bermusik, berbicara soal musik, bergaya ala pemusik, dll. 

Sayangnya, tidak semua orang memiliki taste of coolness yang sama sehingga reaksi yang muncul dari orang lain setelah kita 'mewarisi' hal yang kita anggap keren belum tentu akan terlihat keren juga di mata orang lain bahkan bisa jadi malah sebaliknya.

Tetapi itu masalah lain. Poinnya adalah: kekerenan itu relatif bagi tiap orang.

Relativitas inilah yang membuka ruang bagi orang-orang untuk mendefinisikan makna 'keren' itu ke sembarangan hal, bahkan ke hal-hal yang negatif. Tak usah jauh-jauh ke masalah gangguan mental, kenakalan remaja pun di glorifikasi sedemikan rupa. 

Gambaran anak muda yang 'rebel' dianggap keren bagi orang-orang dan tak jarang pembenaran demi pembenaran muncul untuk memaklumkan perilaku-perilaku buruk. 

Dalam hal gangguan mental, stigma membuat hal tersebut terlihat keren. Seperti pengasosiasian-pengasosiasian yang tadi sudah dibahas. Gangguan mental direduksi pengertiannya sesederhana kepribadian unik manusia yang jarang dimiliki orang pada umumnya.

Dalam budaya pop sendiri, perilaku bunuh diri sering disederhanakan dan didramatisir sedemikian rupa. 13 reasons why misalnya. Serial Netflix ini banyak dikritik orang sebagai salah satu wujud glorifikasi perilaku bunuh diri. 

Karakter Hannah Baker digambarkan sebagai karakter yang tertekan dengan perlakuan anak-anak disekitarnya yang membuatnya memutuskan mengambil nyawanya dan meninggalkan rekaman suaranya, bercerita tiap alasan dia melakukan bunuh diri. Ini adalah interpretasi yang sangat buruk terhadap perilaku bunuh diri itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun