Suhu politik yang kian memanas menjelang pemilihan Kepala Desa secara tidak langsung mengarahkan masyarakat menjadi anomie. Anomie adalah suatu keadaan di mana tidak ada pegangan terhadap apa yang baik dan apa yang buruk atau keadaan tanpa nilai dan norma. Hal ini ditandai dengan perasaan benci dan dendam politik yang kian membara, provokasi sesama masyarakat, menebar fitnah dan menghina orang lain yang tidak sepandangan politik. Keadaan anomie semacam itu mengakibatkan anggota-anggota masyarakat tidak mampu untuk mengukur tindakan-tindakannya sehingga memicu terjadinya disintegrasi dalam kelompok masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh pemahaman terhadap esensial dari “politik” itu minim sekali. Akibatnya, masyarakat menjadi korban politik yang disetir oleh “segelintir orang”. Dalam hal ini, kebebasan politik sebagian masyarakat dikendalikan oleh segelintir orang. Padahal, politik itu soal kebebasan, pandangan dan pilihan. Tentu kita semua memiliki pandangan dan pilihan politik yang berbeda. Dan itu tidak menjadi persoalan, karena itu menyangkut kebebasan dalam berdemokrasi.
Realita menunjukkan perbedaan pandangan poltik melahirkan istilah “musuh”. Sudah banyak terjadi keretakan hubungan kekeluargaan di dalam masyarakat karena perbedaan pandangan dan pilihan politik. Ketika pandangan politik saya dengan si A berbeda, lalu saya menganggap si A sebagai musuh, begitupun sebaliknya.
Pola-pola seperti itu bukan sesuatu yang baru tetapi sudah mendarah daging dalam kelompok masyarakat. Selama ini kita selalu membenarkan yang biasa ketimbang membiasakan yang benar dalam berpolitik. Meskipun, kebenaran dalam ilmu sosial itu relatif, tetapi kita sebagai masyarakat memiliki standar yaitu nilai dan norma yang berlaku umum.
Contohnya, saat melakukan orasi politik/kampanye, kita selalu mencaci maki, menghina dan menjelek-jelekkan orang lain yang tidak sepandangan politik dengan kita. Padahal, suasana kampanye sebenarnya adalah kesempatan terbaik untuk menjelaskan sedetail mungkin visi dan misi yang kita gaungkan. Jangan sampai visi dan misi itu sekadar slogan yang tidak memilih arah. Kemudian, sebagai ajang untuk menyampaikan ide/gagasan yang berisi program untuk pembangunan dan kemajuan desa.
Jadi, yang diadu itu semestinya program/gagasan/ide untuk kemajuan desa, bukan adu kekayaan; adu mencaci maki; adu menghina dan lainnya yang negatif. Dengan demikian, berpolitik itu boleh. Bahkan, semua masyarakat direkomendasikan untuk berpolitik. Tetapi, caranya itu yang harus dibenahi. Berpolitiklah dengan akal sehat, jangan dengan perasaan. Dengan menggunakan akal sehat, kita akan membiasakan yang benar ketimbang membenarkan yang biasa dalam berpolitik