Mohon tunggu...
Eddy Yansen
Eddy Yansen Mohon Tunggu... -

Seorang praktisi periklanan profesional, ilmuwan jalanan ,pelatih kepemimpinan, entrepreneur dan seorang ayah. Email : me@eddyyansen.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Berakhirnya Mimpi Blackberry Messenger (BBM) di Indonesia

20 April 2019   09:02 Diperbarui: 20 April 2019   09:29 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Blackberry Messenger

Beberapa hari lalu, Blackberry Messenger (BBM) mengumumkan akan menutup layanannya pada 31 Mei 2019. Cuitan dengan tagar #GoodByeBBM pun meramaikan trending topic di media sosial. 

Seperti yang kita ketahui, di pertengahan tahun 2016 silam lisensi BBM dibeli oleh perusahaan lokal Indonesia EMTEK ( perusahaan induk dari SCTV, Indosiar, KMK ) dengan harga sesuai pemberitaan media masa adalah Rp 2,7 Triliun. Dan pada akhir 2018 kemarin, EMTEK membukukan laporan keuangan merah, rugi bersih Rp 2,62 Triliun rupiah.

Tampaknya mimpi BBM untuk merajai Indonesia harus pupus disini. Dari peristiwa ini sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita pelajari sebagai seorang entrepreneurship dan manajemen. 

Sebagai seorang entrepreneur kawakan Indonesia, Pak Eddy Sariaatmadja patut dipuji lewat keberaniannya melakukan aksi - aksi korporasi yang memacu grupnya menuju arah digital. Disisi lain beliau tidak takut mengakui kekalahannya ketika aksi tersebut gagal berbuah seperti yang diinginkan. 

Gagalnya Blackberry Messenger di Indonesia, menurut pengamatan saya adalah hilangnya jiwa entrepreneurship itu sendiri. Mengingat BBM pada saat diakuisisi telah dalam kondisi sekarat, dan telah kehilangan kepopulerannya di kalangan masyarakat yang berpindah ke platform messenger lain. BBM yang mulai ditinggali rekan - rekan telco yang dulunya gencar mempromosikannya, jelas adaah penyebab kedua hilangnya pangsa pasar BBM dengan cepat di Indonesia. 

Padahal bila kita melihat dengan kewarasan, BBM jelas berada dalam kondisi sinking ship pada saat diakuisisi, atau bisa kita sebut downtrend. Namun tampaknya manajemen memilih untuk membutakan diri dengan angka - angka metrik yang menyebutkan pengguna BBM yang masih besar di Indonesia. 

Dan dalam usaha mempopulerkan BBM kembali, BBM tampaknya dipaksakan secara berlebihan untuk menjadi super apps yang menggabungkan semua yang dimiliki oleh group. Padahal super apps hanya bisa lahir, ketika fungsi utama apps tersebut masih terus menanjak basis penggunanya. Atau kita bisa mengatakan saat apps tersebut masih digandrungi oleh banyak orang. 

Memasukan fitur dan fungsi kedua dan ketiga ke sebuah aplikasi yang terus menurun basis penggunanya, jelas bukanlah solusi untuk mempopulerkannya kembali. Entah kenapa hal ini tampaknya dihiraukan. 

Di era yang serba digital ini, memasukan berbagai ide bisnis dalam sebuah ekosistem tentu tidaklah sulit untuk dilakukan. Namun jiwa problem solving seorang entrepreneurlah yang sulit ditemukan. 

Menurut saya gagalnya BBM di Indonesia, adalah hilangnya faktor entrepreneurship dalam pengelolaannya. Artinya BBM harusnya mampu dan fokus dalam menelurkan ide - ide baru yang disruptive untuk chat messenger. Dan seharusnya Emtek sudah melihat peluang itu sebelum melakukan akuisisi sebuah sinking-ship. Alhasil BBM yang diakuisisi sebagai faktor pengungkit nama saja, berakhir mengenaskan di tahun 2019 ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun