Mohon tunggu...
Eddy SATRIYA
Eddy SATRIYA Mohon Tunggu... -

Kolumnis di berbagai media cetak dan elektronik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mungkinkah Kita Punya Satu Saluran Darurat (911)?

14 Maret 2011   11:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:48 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi itu saya baru menghabiskan satu putaran jogging di komplek perumahan. Ketika lewat di depan rumah, saya dengar anak bungsu saya berteriak-teriak memanggil Mamanya. Tidak ada sahutan, ia terus berteriak dan semakin kencang serta histeris. Segera saya bergegas masuk rumah, masih dengan sepatu terpasang.  Di kamar kami, isteri saya terkapar tidak sadarkan diri. Ada busa keluar dari mulutnya. Panik! Itulah yang saya rasakan meski saya sempat menenangkan diri sejurus lamanya. Mau telepon? ke siapa dan nomor berapa? Kalau kejadiannya waktu kami sekolah dulu di salah satu negara bagian di Amerika Serikat sana, pastilah saya otomatis sudah menyuruh pembantu atau anakku itu menelpon 911. Sungguh, itu jelas suatu prosedur darurat yang rutin dan harus dilakukan, sementara saya tentu akan bisa leluasa membantu memberikan P3K/First Aid terhadap korban.

Selintas, saya memang ingat ada satu nomor untuk polisi di Indonesia kalau tidak salah 112, juga ada nomor lain untuk ambulance. Namun ketika kejadian itu terus terang saya tidak yakin dan tidak tahu harus menelpon siapa, dan nomor berapa. Sayapun memutuskan segera membawa isteri yang sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri ke unit gawat darurat sebuah rumah sakit yang  terdekat dari rumah. Sambil menjaga kesadaran isteri bisa pulih, sayapun mengoleskan wewangian di hidungnya.

Alhamdulillah, dalam perjalanan ke Rumah Sakit, isteri saya mulai siuman dan segera dimasukkan ke instalasi gawat darurat. Setelah pernafasannya dibantu dengan oksigen, perlahan isteri saya sudah siuman dan kemudian istirahat sambil diperiksa dan diberikan tindakan medis lebih lanjut oleh dokter jaga.

***

Sekelumit cerita di atas memberikan gambaran dan kepastian bagi saya bahwa bangsa kita belum siap dan memang masih tertinggal dalam hal melayani warganya untuk kondisi-kondisi darurat. Apakah itu terkait kesehatan seperti yang saya alami, terkait kejahatan dengan kekerasan atau maling biasa, terkait terorisme ataupun kebakaran dan bencana alam lainnya. Kemajuan dunia telekomunikasi nasional yang sudah cukup baik, belum diikuti oleh aplikasi layanan berstandar nasional ataupun dunia yang sebenarnya logis dan tidak mengada-ada. Meski saat ini Indonesia sudah berada di atas rata-rata dalam hal penyediaan fasilitas telekomunikasi seluler, integrasi layanan yang menguntungkan bagi masyarakat masih sulit diwujudkan karena kelihatannya masih sangat tergantung kepada interest berbagai pihak seperti operator dan kantor2 tertentu sesuai layanan yang harus diberikan.

Pernah kah anda bayangkan ketika suatu saat anda mengalami musibah, katakan kebakaran atau ada kompor meledak, rumah tersambar petir ataupun di suatu malam anda memergoki maling sedang menyatroni rumah atau mobil tetangga? Siapakah yang akan anda hubungi dan di nomor berapa? Memang sekarang sudah ada info terkait dengan mengirimkan sms kalau tidak salah ke nomor 7070, atau saluran dan sambungan lain. Namun bagi saya tetap saja masih membingungkan, karena setiap jenis layanan memiliki nomor berbeda.

Ambil saja contoh berikut. Kota Lahat di Sumatera Selatan mencantum kan No 113 untuk Pemadam Kebakaran, 112 untuk Polisi, dan 123 untuk gangguan listrik (PLN), sementara kota Magelang memiliki no 113 untuk Pemadam Kebakaran, 118 untuk Ambulance, 110 untuk Polisi, 362019 untuk PLN. Surabaya memisahkan Ambulance dengan Ambulance kecelakaan menggunakan dua nomor berbeda pula dan seterusnya. Berbeda kota atau pulau berbeda pula prosedurnya. Padahal semuanya berujung kepada urusan nyawa dan harta benda yang tidak bisa dipisahk2kan seperti penomoran tersebut.

Karena itu sudah seharusnya pemerintah pusat atau kementerian terkait segera mengatur merapikah hal ini. Terserah instansi mana yang harus mengomandani, harus jelas penunjukkannya sehingga tanggung jawabnya masing2 menjadi jelas, sebagai apa dan mengerjakan apa. (Who does what).

Sudah semestinya berbagai nomor yang terlibat untuk kondisi darurat tersebut dapat diintegrasikan menjadi satu nomor saja, lalu dari pengelola nomor tersebut lah semua tanggung jawab diberikan secara terpisah. Kita tidak usah malu meniru sesuatu yang baik. Katakanlah kita berhasil menetapkan nomor 911 sebagai nomor utama pengaduan kondisi darurat, maka operator 911 kemudian bertugas meneruskan permintaan layanan darurat tersebut kepada institusi terkait. Operator harus mampu mengidentifikasi layanan apa yang dibutuhkan korban atau pelapor lalu meneruskannya kepada Ambulance, Pemadam Kebakaran, Polisi, Layanan darurat medis, atau layanan lainnya.

Sesungguhnya ini bukanlah hal yang sulit dan bukanlah sebuah mimpi besar, tetapi sesuatu yang seharusnya sudah tersedia beberapa tahun lalu untuk bangsa sebesar Indonesia ini.

Jadi, janganlah tunggu kepanikan itu datang lagi kepada anda tanpa anda sendiri mengerti harus menghubungi satu nomor "sakti" yang sangat berguna di tengah kepanikan yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun