Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Love to Hate, Hate to Love

5 November 2015   13:37 Diperbarui: 5 November 2015   14:50 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebencian terhadap seseorang, sesuatu atau sebuah situasi bisa dipendam dalam hati, bisa pula diujarkan secara lisan dan tertulis. Ujaran kebencian (yang sekarang kita kenal dengan istilah ‘hate speech’  terkhusus lewat gambar dan tulisan makin dapat banyak tempat berbareng dengan kemudahan-kemudahan komunikasi media sosial. Orang kini mudah mengutarakan kebencian melalui media sosial, semudah menulis status ‘baru saja makan soto lamongan enak’ atau pasang gambar selfie. Kebencian bisa ditularkan secara mudah di kalangan mereka yang memiliki frame of reference yang sama tentang seseorang, sesuatu atau suatu situasi. Kebencian bisa disamarkan dalam berbagai wujud : kata-kata kasar, meme kasar, gambar-gambar atau berita pelintiran yang, gambar hasil editan, penyebaran rumor, hoax, fitnah dan semacamnya, yang semuanya bersumber dari satu hal, yakni luapan rasa (benci).

[Screenshot : www.dictionary.reference.com]

Di dunia media sosial, seorang pembenci disebut ‘hater’, dan sejumlah pembenci disebut ‘haters’. Kalau ada yang menyebut pembenci sebagai ‘hatter’(ada lo situs berita online yang sebut ‘hater’ sebagi ‘hatter’), pastilah ia tak punya kamus bahasa Inggris.

Baiklah, pada dasarnya kebencian muncul karena banyak hal : perbedaan pendapat, kecemburuan sosial/budaya/politik, rendahnya sportivitas dalam menyikapi kekalahan, ketersinggungan, ketidakpuasan dan sebagainya; silakan tambah sendiri daftarnya.

Apa yang diharapkan oleh seorang pembenci manakala ia meluapkan kebenciannya di media sosial? Kalau kita bicara positif, kita bisa bilang itu karena sang pembenci ingin suaranya didengar dan ingin dunia luas tahu ia benci seseorang, sesuatu atau suatu situasi dan berharap ada perubahan yang membuatnya terpuaskan. Kalau kita bicara negatif, luapan kebencian di media sosial adalah upaya mencari kepuasan diri yang membebaskan dirinya dari kungkungan rasa benci yang membuatnya tak nyaman.

Model yang negatif ini biasanya dilakukan individu-individu yang buta-tuli akan konsekuensi dan akibat yang ditimbulkannya. Bisa jadi mereka tak tahu Undang-undang punya klausul-klausul yang bisa menjerat orang-orang yang telah ‘melakukan tindakan tidak menyenangkan’ yang bisa menyeret mereka ke pengadilan.

Bagaimana kebencian bisa terpupuk dan merebak di kalangan masyarakat Indonesia yang sejatinya dikenal sebagai bangsa yang santun, agamis dan ramah ini? Anda pasti akan mengarahkan telunjuk pada media sosial. Kalau sebelumnya orang ragu untuk melontar kebencian di depan umum karena langsung ketahuan, kini orang bisa bersembunyi di balik cadar-cadar dunia maya. Ia bisa tampil anonim, pakai nama palsu, atau profil palsu. Luapan kebencian juga didukung oleh media tool yang gampang: situs web, fasilitas editing foto yang semudah ABC, dan viralisasi tautan (link).

Kepolisian Republik Indonesia, sebagai pihak yang bertanggungjawab menjamin keamanan dan ketentraman masyarakat, menilai hate speech sudah mulai menganggu, meresahkan, dan mengusik tatanan ketentraman dan kenyamanan sosial. Maka terbitlah Surat Edaran (SE) Kapolri Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian atau hate speech, yang diteken pertengahan Oktober 2015. Surat Edaran dimaksudkan sebagai panduan bagi anggota Polri dalam menangani hate speech dengan rujukan sejumlah pasal terkait dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). SE ini seolah mengingatkan Polri dan masyarakat (yang sudah terlena oleh kemudahan media sosial) bahwa ujaran-ujaran kebencian yang selama ini merebak sebenarnya melanggar hukum.

Tindakan apa saja yang tergolong sebagai ujaran kebencian?  Pada point 2.f SE itu disebutkan ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: (1) penghinaan, (2) pencemaran nama baik, (3) penistaan, (4) perbuatan tidak menyenangkan, (5) memprovokasi, (6) menghasut, (7) penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.

Ranah-ranah kehidupan sosial apa saja yang dicakup dalam ujaran kebencian? Poin 2.g Surat Edaran itu menyebutkan : bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: (1) suku, (2) agama, (3) aliran keagamaan, (4) keyakinan/kepercayaan, (5) ras, (6) antar golongan, (7) warna kulit, (8) etnis, (9) gender, (10) kaum difabel (cacat), (11)  orientasi seksual.

Jenis-jenis media apa saja yang tercakup dalam kaitan ujaran kebencian? Point 2.h Surat Edaran itu menyebutkan : bahwa ujaran kebencian (hate speech) sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain: (1), dalam orasi kegiatan kampanye, (2) spanduk atau banner, (3)  jejaring media sosial, (4) penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), (5) ceramah keagamaan, (6) media masa cetak maupun elektronik, (7) pamphlet.

Bunyi Surat Edaran selengkapnya bisa dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun