Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Keringat Terlanjur Kering: Gaji Pertama yang Terlambat

20 September 2011   05:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 1958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sama sekali tidak pintar bila diajak berdiskusi soal gaji atau payroll-system. Tapi, lantaran saya bersemangat untuk menangkringkan tulisan di FREEZ, saya keep searching masalah-masalah aktual terkait dengan gaji pertama, dan berjumpalah saya dengan sekelumit kisah menarik dari putri seorang teman. Ia berpikir kisah ini akan sangat bermanfaat dan inspiratif, dan oleh karena itu terekomendasi untuk ditulis. Saya sengaja meng-highlight lima kata kunci di atas.

[caption id="attachment_131110" align="aligncenter" width="429" caption="buzzle.com"][/caption]

Begini kisahnya. Putri teman saya itu, sebut saja namanya Rena, tahun ini baru lulus dari jurusan Administrasi Perkantoran sebuah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di Surabaya. Tak berencana melanjutkan studi ke perguruan tinggi, Rena memilih masuk dunia kerja. Setelah melayangkan 17 surat lamaran kerja, dan mengikuti 25 sesi wawancara, akhirnya ia diterima di sebuah perusahaan distributor busana. Gaji yang dijanjikan, total take home pay,sekian persen di atas UMR (Upah Minimum Regional). Ia senang bukan alang kepalang. A good start for a high-school graduate!

Tapi dua minggu ini Rena kelihatan murung. “Gaji saya belum dibayar, Om, sudah tiga minggu. Harusnya tanggal 5 September. Ini gaji pertama saya lho,” keluh Rena pada saya. Ia juga menambahkan gaji 10 rekan kerjanya juga belum dibayar. Saya bertanya pada Rena alasan keterlambatan pembayaran itu. “Bos saya lagi Umrah, mungkin Bos lupa menandatangani slip gaji sebelum berangkat ke Saudi Arabia. Pihak Accounting perusahaan tidak berani mengeluarkan gaji tanpa tandatangan Bos,” tutur Rena. “Kalau untuk urusan pengadaan barang, uang bisa dikeluarkan tanpa tandatangan Bos” masih keluh Rena.

Saya lalu menghibur Rena. Saya bilang ia tidak sendirian. Situasi yang beginian biasa terjadi. Banyak perusahaan gampang mengeluarkan uang untuk keperluan lain, tapi kadang jadi rumit dan birokratis bila menyangkut upah, bayaran, gaji, komisi, persenan, dan sebagainya.

Lalu saya teringat ulasan soal gaji di blog yang barusan saya baca (www.kabarnet.wordpress.com). Ulasan itu mengutip sabda Nabi Muhammad S.A.W yang bunyinya begini ‘u’thu al-ajiir ajrah qabla an yajiff ‘irquh’ yang artinya ‘bayarlah gaji buruh sebelum keringatnya kering’. Ini adalah ajaran dan petunjuk yang arif  bahwa majikan atau pemberi kerja tidak seharusnya menunda-nunda pembayaran gaji untuk mereka yang diperkerjakannya. Alangkah indah sabda tersebut, yang mendudukkan karya, kerja, tenaga, pikiran dan jerih payah orang lain dalam tempat terhormat yang memang sudah seharusnya diimbali dengan upah yang tepat waktu; sangat tidak perlu menunggu keringatnya kering.

Pembayaran gaji yang molor bisa memicu timbulnya biaya ekonomis dan sosial yang serius. Saya ambil contoh diri saya sendiri. Saya punya kewajiban bayar tagihan utilitas (listrik, air, telepon, internet), kartu kredit dan sejenisnya. Bila gaji atau bayaran atau upah tidak hadir tepat waktu, maka saya gagal bayar kewajiban. Bila gagal bayar listrik, aliran listrik di rumah diputus. Bila telat bayar kartu kredit,  Anda akan dibebanilate-charge dankemungkinan diteror tukang tagih.Bulan ini saya terlambat bayar tagihan antar jemput sekolah anak saya, dan saya ditegor plus di-warning anak saya bakal tidak dijemput .

Bagi masyarakat yang penghasilannya segaris lurus dengan pengeluarannya, biaya sosial dan ekonomis keterlambatan pendapatan bisa bikin runyam dan berpotensi 'add friend' dengan setan belang bernama ‘gali lubang tutup lubang’. Bagi Rena, gaji pertama yang terlambat jelas memberikan pengaruh psikologis karena ia tak bisa langsung menikmati keriangan dan rasa bangga sebagai anggota keluarga yang mulai menapaki kehidupan mandiri secara ekonomis.

“Dengan gaji pertama itu, saya tadinya mau bayar hutang ke ibu saya yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk membelikan saya setelan busana baru untuk kerja,” kata Rena sembari berpikir mulai menelusuri kolom lowongan kerja di koran untuk mencari pekerjaan lain.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun