Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Smart City = Smart People + Smart Systems

7 Juni 2015   02:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_367750" align="aligncenter" width="560" caption="Banjir di kawasan Batam Centre, Jumat 15 Mei 2015. Banjir menjadi salah satu persoalan serius di Kota Batam. (foto: eddy mesakh)"][/caption]



MAKNA smart city atau kota pintar menurut pendapat ahli, sebut saja Caragliu dan Nijkamp (2009),adalah kota yang mampu menggunakan sumber daya manusia (SDM), modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern (Information and communications technology/ICT) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat. (Wikipedia)

Banyak lagi defenisi dari para ahli tentang hal ini. Mengacu ide awal yang dicetuskan oleh perusahaan komputer IBM bahwa keberhasilan smart city harus memenuhi enam indikator, yakni masyarakat penghuni kota harus cerdas-terdidik (smart people), lingkungan nyaman dan berkelanjutan (smart environment), pertumbuhan ekonomi tinggi,  masyarakat sejahtera secara finansial (smart economy), mobilitas masyarakat lancar (smart mobility), masyarakat berbudaya dan hidup berkualitas  (smart living), dan tata kelola pemerintahan yang baik, adil, demokratis, partisipatif, akuntabel (smart governance).

Dari berbagai pendapat dan uraian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa smart city = smart people + smart systems.

Sebagus apapun sistemnya tetapi masyarakatnya bengal, kepala batu, tak terdidik, dan tak berbudaya, ditambah pemimpin sektarian, curang, dan korup, hanya akan menghasilkan “stupid city” yang ditandai dengan kesemrawutan di sana-sini, sampah di mana-mana, banjir, macet, kejahatan merajalela, ketimpangan ekonomi, dan tingginya angka kemiskinan.

Maka sbuah smart city hanya bisa terwujud apabila masyarakatnya cerdas atau well educated, kritis, dan memiliki kesadaran tinggi untuk berpartisipasi aktif mendukung segala upaya yang baik bagi kemajuan kota untuk meraih kehidupan bersama yang lebih berkualitas. Masyarakat cerdas lebih mampu memilih para pemimpin (eksekutif dan legislatif) yang juga cerdas, memiliki visi, jujur, suka mendengar, cepat tanggap, dan mau bekerja keras semata-mata untuk kepentingan publik tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan. Dari para pemimpin seperti itu pula bakal lahir smart system atau sistem cerdas yang dapat menjawab persoalan-persoalan pembangunan sosial-budaya, fisik-lingkungan, dan ekonomi secara berkelanjutan.

Persoalan-persoalan yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah tidak terintegrasinya tiga aspek pembangunan tersebut di atas. Misalnya lebih fokus pada pembangunan fisik, asyik mempercantik kota, dan mengejar pertumbuhan ekonomi (makro), tetapi memberi porsi kecil untuk aspek sosial-budaya. Atau sibuk mengurusi aspek sosial-budaya sementara fasilitas fisik tetap buruk, akibatnya tidak mampu mendukung pertumbuhan ekonomi.

Sulit melepaskan persoalan-persoalan tersebut dari buruknya kepemimpinan. Pemimpin yang tidak cerdas apalagi curang hanya akan menghasilkan lebih banyak persoalan seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, tingginya angka kriminalitas, tercipta masyarakat individualistis yang kurang memiliki rasa tanggungjawab terhadap kepentingan publik, dan banyak persoalan lingkungan antara lain tumbuhnya perumahan liar yang membentuk kawasan-kawasan kumuh, sampah tak terurus, dan banjir yang tak tertanggulangi secara baik. Seiring waktu, ketika tumpukan masalah tak tertanggulangi, sang pemimpin pun bertindak seperti pemadam kebakaran.

Dalam hal ini, sebagai warga Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Penulis menggunakan contoh kasus Kota Batam. Apakah Kota Batam mampu menerapkan konsep smart city?

Pemanfaatan ICT

Terkait pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi modern/teknologi informasi (ICT), sebenarnya Kota Batam jauh lebih unggul dari kota manapun di seluruh Indonesia. Tahukah Anda bahwa di kota inilah Telkomsel dilahirkan 20 tahun lalu? Perusahaan telekomunikasi selular terbesar di Tanah Air itu berdiri di Batam pada 26 Mei 1995 ketika Menristek Prof BJ Habibie masih memimpin Otorita Batam (1978-1998). Mantan Presiden RI dan ahli pesawat terbang itu pula yang didaulat melakukan panggilan pertama menggunakan telepon selular.

Kota Batam juga melampaui kota-kota lain dalam hal ketersediaan dan aksesibilitas jaringan internet. Sejak tahun 2008 Batam telah menjadi cyber city, yakni jaringan internet tersedia di seluruh kecamatan serta tersedianya free wi-fi pada banyak titik. Tahun 2009 Batam sudah mulai menerapkan pengurusan KTP secara online, dan dengan dukungan teknologi informasi pula, sejak Januari 2015, pembuatan KTP dan Kartu Keluarga (KK) bisa dilakukan di kantor camat. Sekarang, seluruh kelurahan di Batam telah tersedia jaringan internet.

Baru-baru ini Menkominfo Rudiantara, mengatakan bahwa saat ini Batam menjadi hub jaringan komunikasi Indonesia dan global karena adanya jaringan komunikasi kabel laut (Batam-Mersing Cable System) ke luar negeri di Tanjung Bemban. Fasilitas ini mampu melayani permintaan komunikasi hingga satuan giga bit per second (gbps) dan menjadi cadangan untuk jaringan internasional yang telah ada sebelumnya. Dengan fasilitas ini pula, tahun ini, dua perusahaan telekomunikasi nasional, Indosat dan Telkomsel, sudah bisa menyelenggarakan layanan telekomunikasi 4G untuk pelanggan di Batam (Antara).

Singkatnya, dari sisi teknologi informasi, nyaris tak ada hambatan bagi Kota Batam untuk menerapkan konsep smart city. Para pemangku kepentingan tinggal menghubungkan infrastruktur fisik, teknologi informasi, sosial, dan ekonomi-bisnis menjadi satu kesatuan sistem yang saling mendukung.

Namun, kata orang; “Ini Indonesia, Bung!” Maksudnya, kendati telah didukung oleh teknologi informasi canggih, Batam tetaplah bagian dari Indonesia yang tak lepas dari persoalan-persoalan klasiknya, yakni kurang responsif, inovatif, dan kompetitif. Teknologi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal oleh para pemangku kepentingan sehingga yang terjadi adalah kurang cepat tanggap dalam mengatasi permasalahan kota, pemecahan masalah kurang inovatif, dan berdaya saing lemah dibandingkan kota-kota lain di negara-negara tetangga.

Pemangku kepentingan kurang responsif dalam mengatasi persoalan kota seperti kerusakan lingkungan, banjir, dan masih mengatasi permasalahan sampah secara “tradisional”. Pembangunan kota masih kurang mempertimbangkan kelestarian alam, kurangnya kerja sama aktif yang saling mendukung (bersimbiosis) dengan institusi-institusi pendidikan/kampus, lembaga-lembaga penelitian, maupun dengan perusahaan-perusahaan yang jumlahnya mencapai ribuan. Transportasi massal pun masih mengandalkan sistem “tradisional”, maksudnya masih bergantung pada angkutan kota berupa mikrolet dan minibus. Ada layanan bus DAMRI, namun kurang diminati warga kota karena keterbatasan daya angkut dan jadwal yang kurang sesuai dengan irama mobilitas penduduk yang umumnya bekerja di sektor industri manufaktur, perdagangan, dan jasa. Warga kota pun lebih memilih kendaraan pribadi seperti mobil dan motor serta ojek motor sebagai angkutan alternatif. Ini mengakibatkan kemacetan, terutama pada jam-jam sibuk, lantaran banyaknya kendaraan pribadi berseliweran di jalan raya.

Sebagai kota yang digerakkan oleh “dua mesin” yakni Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Kawasan (BP Batam), mestinya kota ini memiliki akselerasi lebih baik dibanding kota-kota lain di Indonesia bahkan mampu bersaing atau minimal menjadi  pilihan utama tumpahan industri dari Singapura sebagaimana “teori balon” yang dicetuskan BJ Habibie. Kendati saat ini Batam masih diminati investor asing, posisinya sudah mulai tersaingi oleh Tanjungpelepas, Johor, Malaysia. Masih ada saling menyalahkan terkait tanggungjawab terhadap permasalahan kota, tetapi sekaligus berebut wewenang antara kedua institusi tersebut dalam beberapa aspek, misalnya soal hak pengelolaan lahan (HPL).

Rusun  untuk Hemat Lahan

Uraian di atas seperti lingkaran setan saja. Kita bingung harus memulai dari mana. Apakah mencerdaskan manusianya duluan, sistemnya duluan, atau jalankan keduanya secara bersama-sama?  Di sinilah pentingnya melakukan identifikasi masalah untuk menentukan konsep smart city seperti apa yang paling tepat diterapkan pada sebuah kota. Caranya?

Kota Batam yang terdiri atas gugusan Pulau Batam, Rempang, dan Galang yang dihubungkan oleh Jembatan Barelang, “hanya” seluas 715 km2. Sejak awal pulau ini telah dipersiapkan dan dikembangkan sebagai daerah industri, perdagangan, dan jasa serta ditetapkan sebagai free trade zone(daerah perdagangan bebas). Status tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi Batam selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional berkisar 5 persen, pertumbuhan ekonomi Batam mampu mencapai 7-8 persen.

Daya tarik itu membuat masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong ke Batam untuk mencari pekerjaan, sehingga rata-rata pertumbuhan populasi mencapai 8 persen per tahun. Mengacu statistik pada situs resmi Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), jumlah penduduk Batam pada 2005 masih berkisar 700 ribu jiwa, pada Desember 2014 populasi telah melampaui angka satu juta jiwa (bpbatam.go.id). Diperkirakan populasi Batam saat ini telah mencapai 1,3 juta jiwa. Pertumbuhan populasi ini didominasi oleh para pencari kerja dari daerah lain.

[caption id="attachment_367751" align="aligncenter" width="300" caption="Sebuah mobil menerjang banjir di Batam. (foto: eddy mesakh)"]

1432592011630025857
1432592011630025857
[/caption]

Laju populasi cukup tinggi sementara ketersediaan lahan sangat terbatas, baik untuk kepentingan bisnis dan industri, hunian, fasilitas publik, area penyangga, dan sarana-prasarana lainnya.Terutama untuk hunian, dari waktu ke waktu pembangunan kawasan perumahan terus berkembang dan semakin banyak menghabiskan lahan. Belum lagi penyerobotan lahan, termasuk di area-area buffer zone untuk mendirikan rumah-rumah liar (ruli), termasuk di catchment area sekitar dam penampung air baku. Ditambah buruknya sistem draenase, maka banjir pun tak terhindarkan manakala curah hujan berlangsung 2-3 jam saja, sementara ketersediaan air baku di waduk-waduk justru menipis.

Karena itu, saatnya Pemerintah Kota Batam dan BP Batam bahu-membahu menata ulang peruntukan lahan. Mulai menghemat penggunaan lahan untuk pembangunan hunian dengan mengurangi pengembangan rumah tapak (landed house) dan mengembangkan rumah susun (rusun). Masyarakat yang selama ini bermukim di ruli-ruli harus dipindahkan ke rusun dan lahan-lahan yang telah rusak atau mengalami deforestasi harus ditanami kembali sebagai hutan kota serta memperbanyak taman-taman kota.

Sayang, Pemerintah Kota tampaknya kurang tegas dalam mengatasi berkembangnya permukiman liar. Penulis menduga ini ada kaitannya dengan kepentingan politik, yakni penghuni ruli dijadikan lumbung suara dalam pesta demokrasi. Imbalannya mereka tidak boleh digusur. Padahal, jika memang berniat baik untuk kepentingan warga, pemerintah bisa membangun rusun dan memindahkan mereka ke sana, sebagaimana yang sedang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta.

Penulis yakin apabila ada kemauan baik dan hubungan harmonis antara Pemerintah Kota Batam-BP Batam serta mampu menjalin simbiosis mutualisme dengan perusahaan-perusahaan, lembaga penelitian, dan dunia pendidikan, niscaya Batam akan menjadi kota pertama di Indonesia yang sukses mewujudkan konsep smart city, sebuah kota yang maju, tertib-teratur, inovatif, lestari, dan nyaman bagi jutaan penghuninya. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun