BARU-BARU ini, persisnya 19 April 2016, Presiden Jokowi berbincang hangat dengan Perdana Menteri Inggris David Cameron, di Kantor PM Inggris, London. Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi mengatakan, “Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia mempunyai peran untuk menunjukan kepada dunia bahwa dalam Islam, demokrasi dan toleransi dapat beriringan.” (Tempo.co)
Jokowi benar. Dan dia menyebut Islam, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut Islam dan wajah Islam Indonesia yang sebenarnya adalah Islam yang toleran. Wajah asli Islam Indonesia dengan mudah bisa kita temui di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hubungan harmonis antar-umat beragama di Alor telah berlangsung turun-temurun dan tidak luntur sampai hari ini, kontras dengan situasi di sejumlah daerah di Indonesia, di mana kerukunan antar-umat beragama kian luntur.
Seperti dilaporkan teropongalor.id, masyarakat Pantar Timur menunjuk Amran Olang yang beragama Kristen menjadi ketua panitia lokal pagelaran Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Kabupaten Alor. Kegiatan ini berlangsung 24 April – 2 Mei 2016 di Desa Bakalang, Kecamatan Pantar Timur, Pulau Pantar.
“Betul, saya beragama Kristen,” kata Amran kepada teropongalor.com.
Peristiwa “mewah” itu bahkan hanya dijadikan sebuah berita kecil oleh media online yang berpusat di Alor itu. Sebab, praktik toleransi memang bukan sesuatu yang luar biasa di sana.
Kearifan lokal itu bahkan dibawa sampai ke perantauan, di antaranya di Pulau Batam, Kepri. Seperti pernah penulis laporkan beberapa tahun lalu, para perantau asal NTT menunjuk Rajab Fukalang, seorang tokoh Muslim, sebagai Ketua Panitia Pembangunan Gedung Kebaktian Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Effata, yang berlokasi di Kelurahan Sei Binti, Kecamatan Sagulung. Sebelumnya, mereka juga bahu-membahu mendirikan Mushola Nurul Haq, tak jauh dari lokasi Gereja Effata.
Mengapa Rajab yang seorang muslim mau berlelah-lelah mendirikan sebuah gedung kebaktian bagi umat Kristen? “Kita bawa kebiasaan dari NTT, yakni hidup berdampingan secara damai, tidak membeda-bedakan antara Islam dan Kristen,” ujar Rajab kepada Penulis.
“Apalagi, saya salut sama Pendeta yang juga tidak membeda-bedakan, mampu merangkul kami semua dengan melakukan pendekatan secara kekeluargaan,” lanjut dia.
Para perantau asal NTT, baik Islam maupun Kristen, terlibat dalam proses pembangunan semua gedung kebaktian GMIT maupun mushola tempat ibadah perantau asal NTT di Batam.
“Memang, kita sebagai orang yang dituakan, harus bisa memikirkan kebaikan bersama agar ke depan tidak muncul masalah antarsesama saudara. Sebagai sesama anak perantau, kita harus bersatu,” imbuh Rajab yang juga ikut terlibat dalam pembangunan gedung kebaktian Jemaat GMIT Eklesia di Batam Centre.(*)