Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masyarakat NTT Protes Film Soekarno Karya Hanung Bramantyo

22 Mei 2015   10:38 Diperbarui: 4 April 2017   16:18 5586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_419328" align="aligncenter" width="624" caption="Hanung Bramantya, Sutradara Film "Soekarno" | Foto: kompas.com"][/caption]

TAK diragukan lagi, Hanung Bramantyo adalah sutradara berbakat yang telah terbukti mampu menghasilkan karya-karya berkualitas. Hanung menyutradari lebih dari 20 judul film maupun menjadi pelakon dalam sejumlah film nasional. Sebut saja film Brownies dan Get Married yang mengantarnya meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik pada FFI 2005 dan 2007. Suami dari Zaskia Adya Mecca ini merupakan salah satu sosok kebanggaan Indonesia karena ikut berperan aktif dalam kebangkitan perfilman nasional.

[caption id="" align="aligncenter" width="422" caption="Film Soekarno (sumber: kabarsinema.com)"]

[/caption]

Dari puluhan karyanya, beberapa di antaranya sempat menuai kontroversi, yakni Perempuan Berkalung Sorban, Tanda Tanya (?), Cinta Tapi Beda, dan Soekarno: Indonesia Merdeka (2013). Film yang disebut terakhir, mendapat kritik keras dari tokoh masyarakat NTT, Peter Apollonius Rohi. Pria 73 tahun ini tidak setuju mengenai penggambaran sosok Riwu Ga oleh Hanung dalam film Soekarno.

Mantan anggota marinir, wartawan senior, sekaligus pengamat sejarah ini mempertanyakan alasan Hanung menggambarkan Riwu Ga, yang tak lain pengawal setia Soekarno, sebagai sosok jahat berkarakter pengkhianat dalam film itu. Riwu Ga, oleh Hanung, digambarkan sangat membenci Fatmawati dan merobek-robek foto Fatmawati. Akibat penggambaran seperti itu, menurut Peter, seorang putra Fatmawati, Guntur Soekarnoputra, menjadi benci terhadap Riwu Ga. Padahal, menurut Peter Rohi, Riwu Ga sangat setia pada Soekarno, bahkan sang istri – Maria Riwu Ga - merawat Guntur ketika masih kecil.

Tentu Peter Rohi tak sembarang melontarkan kritik/protesnya, lantaran dia memiliki pengetahuan mendalam mengenai siapa Soekarno dan bagaimana kehidupan Sang Proklamator. Asal tahu, Peter Rohi adalah pimpinan Soekarno Institute yang pertama kali mengungkapkan rumah tempat kelahiran Soekarno di Blitar, Jawa Timur, berdasarkan sebuah penelitian mendalam. Hasil penelitian Peter Rohi dkk itu kemudian dikuatkan oleh Cindy Adams melalui bukunya; Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.

[caption id="" align="aligncenter" width="266" caption="Riwu Ga (Sumber: indocropcircles)"]

[/caption] Kembali ke soal Riwu Ga, menurut Peter Rohi, apapun alasannya, Hanung telah melakukan penyimpangan sejarah. Sebab, bagaimanapun, film yang dia kerjakan bukan film biasa, melainkan sebuah film bernilai sejarah. Artinya penggambarannya harus akurat agar tidak menimbulkan salah tafsir.

Riwu Ga adalah pengawal pribadi Soekarno. Dia dekat dengan Soekarno saat menjalani pembuangan oleh Belanda di Ende, Flores (NTT) tahun 1934 -  kala itu Riwu Ga masih berusia 14 tahun. Riwu Ga merupakan faktor yang menggagalkan pengasingan Soekarno ke Australia oleh Belanda pada tahun 1942. Loh, kok? Ya, Belanda yang telah mempersiapkan pesawat untuk mengangkut Soekarno, akhirnya membatalkannya karena Soekarno ngotot membawa serta Riwu Ga. Seandainya Soekarno jadi diasingkan ke Australia, bukan tak mungkin jalan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia menjadi lebih panjang dan rumit.

Riwu Ga juga ikut mengambil peran saat Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ketika itu, beberapa jam setelah membacakan teks proklamasi, Soekarno memerintahkan Riwu Ga untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada seluruh masyarakat di Jakarta. Di atas mobil Jeep yang dikemudikan Sarwoko berkeliling Jakarta, Riwu Ga memekikkan “Merdeka... merdeka... merdeka...!” sambil tinjunya dikepalkan ke udara. (sumber)

Memang, pembacaan proklamasi disiarkan melalui radio, tetapi pada masa itu tak banyak orang memiliki alat elektronik tersebut. Banyak orang di Jakarta mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka melalui pengumuman Riwu Ga dan Sarwoko.

Sehingga penggambaran sebagai sosok antagonis oleh Hanung melalui film Soekarno: Indonesia Merdeka, menurut Peter Rohi, merupakan penyimpangan sejarah serta melukai perasaan sanak famili yang bersangkutan di Pulau Sabu maupun NTT secara keseluruhan.  Peter Rohi sendiri berasal dari Pulau Sabu, NTT.

Keluarga dan masyarakat NTT kecewa

Melalui statusnya di media sosial facebook, Peter menuturkan bahwa keluarga besar Riwu Ga kecewa pada film Soekarno yang menggambarkan Riwu Ga sebagai seorang pengecut dan pengkhianat. Padahal keberanian, kepercayaan, dan kesetiaan adalah milik satu-satunya Riwu Ga setelah mengikuti dan mengawal Bung Karno sejak 1934 sampai Proklamasi Kemerdekaan RI.

Tak hanya Peter Rohi dan keluarga besar Riwu Ga yang terganggu oleh penggambaran Riwu Ga oleh Hanung, sejumlah masyarakat NTT ikut tersinggung. Protes tersebut, menurut Peter, telah disampaikan kepada Hanung, namun Peter justru ditantang untuk berlomba dalam seni. Padahal, menurut Peter, sebagai sebuah film sejarah, mestinya melalui riset mendalam agar tidak menimbulkan penyimpangan sejarah yang membingungkan bagi masyarakat yang menonton.

Tulisan Peter Rohi di akun FB-nya telah di-share sebanyak 152 kali dan juga mendapat banyak komentar, umumnya mengritik penggambaran Riwu Ga oleh Hanung.

Seorang netizen, Vico Patty, menulis; “Untuk Indonesia nama sutrada Hanung cukup besar, sayangnya untuk film Soekarno, dia melewatkan sebuah buku tipis, berjudul "Kakolami Angalai" yg ditulis Peter Apollonius Rohi dan Yusak Riwu Rohi, bta kira om Peter harus mengirimkan satu eksemplar buku tersebut untuk Hanung. Buku yg bagus om, sebaik om Peter menuturkan secara lisan kepada beta... thanks om, sudah membuka mata kita tentang Riwu Ga seorang pejuang tanpa pamrih, yg hampir terlupakan oleh sejarah.”

Netizen lainnya, Airlangga Pribadi, berpendapat; “Karya Hanung tentang Bung Karno buruk, selain tidak berbasis riset yang ketat juga tidak membangkitkan passion tentang kebangsaan. Tidak ada pesan yang kuat dari film itu.”

Agtar Van Cast Jr;  “Seharusnya sebuah film menceritakan kebenaran terutama film ttg sejarah. mau siapapun itu sutradaranya. Ya kalo seperti ini dapat di pastikan nantinya banyak film2 sejarah yg ga bermutu. For example film G3Os kemana film itu sekarang?”

August Ridlof Riwu: “Soekarno....pernah berucap...JASMERAH...LALU HanungBramantio...anak,kemarin sore memutar balikan sejarah...saya sebagai keluarga RiwuGa..sangat menyesalkan hal,ini...ternyata bukan hanya APBN yang dikorupsi tetapi sejarah pun sudah masuk dalam atau terkena bidikan korupsi...seharusnya BSF...tidak meloloskan film,ini diputar...bagi HanungBramantio..semoga engkau selalu terberkati..ingat ANDA telah memfithah keluarga kami...dan pembalasan bukan hak kami..semoga Tuhanmu mengampuni semua kesalahanmu.... Thanks AmaTanna..maPadda PieterRohi...GodBless”

Gusty Teni Hawu; “ kami sbg orang sabu tersinggung dgn film ini.. Spt memutarbalikan sejarah dan menghilangkan peran orang sabu dalam perjuangan kemerdekaan.. Si hanung dapat referensi sejarah darimana shg dia brani brbuat spt itu?? Dukung om peter untuk ungkap kebenaran sejarah..”

Edy Purwo Santosa: Sangat prihatin. Begitu dangkal pemahaman dan penghayatan akan sejarah Bangsa. Jika referensi dan study kasus kurang, lebih baik nggak usah membuat film.

Willas Littik: Berarti ini film asal bikin & asal ada proyek !!! 1 lagi Proyek Pembodohan Bangsa !!!

Matheos Viktor Messakh: kayaknya opa su pernah tegur langsung dia tapi ini orang memang sombong. Dia malah alihkan topik dengan menantang opa bikin film lain. Orang kritik pemerintah sonde harus jadi pemerintah, dst. apakah kritik fakta dalam film harus jadi sutradara dulu? Dia pung karir akan habis kalau dia begini terus.

Ray Hermawan: lagi2 kita di suguhi kontroversi dari dunia seni, biasanya kalau sudah terdesak pasti dalihnya : kebebasan berekspresi , kalau karya saya mau di hujat yah silahkan saja.....trs terang saya merasa jengah dengan prinsip ini, kebebasan berekspresi jadi kebebasan untuk salah juga, tak peduli orang lain di rugikan, apakah materil / non materil, hanung juga pernah membuat kontroversi di film2 sebelumnya setidak nya bagi kalangan tertentu.....seoerti bp Riwu ga ini, omong2 mengenai mel gibson , sy pernah nonton di metro TV dia juga pernah membintangi film buatan Aussi : year of living dangerously, soal indonesia thn 60an ya pak @ Peter Apollonius Rohi ?

Dan banyak lagi komentar netizen pada status Peter Rohi.

Sebagai sutradara, alangkah bagusnya Hanung menjawab kekecewaan masyarakat atas film karyanya tersebut. (*)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

SUPLEMEN:

Berikut tulisan lengkap Peter Rohi di akun facebook-nya (telah diedit sebagian oleh Penulis)

Ibu Belandina Riwu Ga telah berpulang tahun lalu. Seperti anak2nya dan keluarga besarnya ia pun kecewa pada film Soekarno yang menggambarkan sosok Riwu Ga sebagai seorang pengecut dan pengkhianat yang disutradarai Hanung. Pada hal keberanian, kepercayaan, dan kesetiaan adalah milik satu2nya Riwu Ga setelah mengikuti dan mengawal Bung Karno sejak 1934 sampai proklamasi kemerdekaan RI.

Dalam buku: Soekarno, an Autobiography as told to Cindy Adams, dilukiskan Riwu sebagai watchdog yang selalu berdiri di samping Bung Karno, sebgai seorang pengawal yang setia, siap menjaga Bung Karno dari setip ancaman marabahaya. Dan ia pula yang ditugaskan oleh Suku Sabu ketika melepaskan Riwu menjaqga Bung Karno dengan upacara Jingitiu, suatu ritual sumpah menurut adat masyarakat Sabu.

Dalam film Hanung hal itu diputarbalikkan sama sekali. Riwu yang sederhana itu digambarkan sangat membenci Fatmawati dan merobek-robek foto Fatmawati, pada hal ia menyayangi Bung Karno dan mengenal Fatmawati sejak "kost" di rumah BK-Ibu Inggit. Dalam film itu Riwu yang buta huruf itu minggat dengan menuliskn sebuah surat yang ditinggalkan pada Bung Karno.

Tentu saja, keluarga Bung Karno yang termakan film tanpa riset itu ikut mengumpat-umpat Riwu Ga, dan konon setelah menonton film itu Guntur sangat benci pada Riwu. Pada hal, Guntur ketika bayi diasuh oleh Maria, istri Riwu yang meninggal di Ende.

Apabila kami orang pers koran dilarang melakukan fitnah, check dan recheck sebelum menuliskan atau menyiarkan sebuah berita, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh orang film? Pada hal bagaimana pun film dibuat dengan menyebutkan sebuah nama yang pernah ada sebagai bagian film itu. Barangkali itulah sebabnya film Indonesia tak akan masuk masuk dalam hitungn dunia, jika para sutradara tidak mau belajar bnyak dari negeri yang kaya suku dan budaya seperti negeri kita.

Bagaimana bisa mereka mampu sekelas Mel Gibson yang ketika membuat film Apocalypto melakukan riset budaya dan bahasa suku2 Indian pada masanya, bahkan ketika menyutradarai film The Passion of Christ, Mel Gibson menggunakan bahasa Aram, bahasa yang berlaku pada masyarakat Yahudi pada zaman Jesus, pada hal bahasa kuno itu sdh hampir punah.

Saya angat mengharapkan munculnya sutradara2 besar setingkat Cecil B. de Mille (film Cleopatra 1934), David O Selznick (Gone with th Wind- 1939), atau para sutradara yang menyutradarai film Bounty yang 7 kali diproduksi, empat di antaranya di Hollywood (terkhir Robert Bolt 1984 setlah Brabourne 1968, yang melukiskan heroisme Letnan William Bligh mendayung empat puluh hari siang malam dari Haiti menuju Kupang (NTT) pada 1779.

Tentu saya tidak perlu katakan sutradara yg tak mau belajar dan suka tipu2 penonton tidk bakal sebesar John Husememen (Julius Caesar - 1953) atau bahkan jauh sekali dari James Cameron yang menyutradari Titanic 1998 yang merebut 11 dri 14 nominasi award.

Walau begitu saya sangat memuji Viva Westi yang menyutradrai film Ketika Bung di Ende yang memberikan tempat bagi kesetiaan seorang Riwu Ga. Akhirnya, patut kita hormati, bahwa sebuah film dibuat untuk memuliakan kemanusiaan dan bukan memberi tempat bagi berkembangnya basiswaarden (nilai dasar) yang penuh nafsu serakah. Bacalah filsafat dan sejarah pemikiran mulai Socrates sampai Kant kalau mau menjadi sutradara yang baik, agar tidak menjadi sutradara tipu2!

Hari ini konon Mata Najwa akan muncul di Yogya dan Hanung disebut-sebut sebagai tokoh, tapi apabila sutradara begini yang menghina orang kecil dan suka merendahkan kultur suku lain di negeri ini, dipenuhi puja-memuja, maka bisa sdiukur hanya segitu pula tingkat pemahaman penonton pada seni (film) dan juga tingkat wawasan dan visi presenter2 Indonesia. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun