Kenapa sih judulnya bikin nyesek dada gitu sih? Kesatu buat eksyen aja. Kedua, kisah tuturan ini kejadiannya memang mundur puluhan tahun kebelakang. Malah sebelum pesawat televisi nongol di Negeri tercinta ini ( 1963?).
Ceritanya begini...Â
Apa sebab saya pernah kesengsem dan bersedia  terselip dibilik-bilik Pustaka dan ngotot jadi kutu-buku? Ternyata, setelah diselami, kegiatan kutu buku mempunyai kenikmatan tersendiri.Â
Kita bisa asyik suntuk seharian hanya ditemani sebuah buku. Menjelajah kedalam dunia fiksi dan non fiksi yang memberikan pengalaman tanpa pernah mengalaminya.Â
Tanpa sengaja, puluhan buku itu berproses dan terolah secara sistematis di alam bawah sadar kita. Membentuk pola pikir yang saling memengaruhi, antara wawasan dan mental yang kita miliki.Â
Setelah saya telaah, ternyata proses seseorang menjadi kutu buku tak terlalu istimewa.Â
Cukup menjadi seorang pelamun, pemimpi, pengkhayal atau punya sifat kepo. Selebihnya adalah bakat dan kecerdasan. Kenapa harus cerdas? Ya mencerna kisah menjadi nilai ketertarikan, yang pasti butuh kwalitas nalar untuk menyimak secara utuh.Â
Kiwari ( 1958 ), Dunia perbukuan tak selengkap saat ini, konon pula pilihan untuk konsumsi bacaan anak tidak se komplit jaman sekarang. Seingat saya, buku komik bergambar boleh dibilang mendominasi bacaan anak kala itu.Â
Cerita pewayangan menjadi konsumsi bacaan anak yang digemari. Cuma, entah mengapa, saat itu komik dianggap bacaan yang meracuni pikiran anak. Kontras dibanding nasib komik saat ini.Â
Tak tahu, apa standar ukuran peracun pikiran anak itu? Apa prilaku anak yang sekonyong nyandu, dan enggan lepas setelah mengenal komik? Who knows..
Almarhum bapak sempat berang, seusai tahu bahwa anaknya ternyata penghamba buku komik. Beliau memvonis saya, untuk tak lagi berkawan apalagi sampai menghamba pada komik pewayangan atau  sejenisnya.Â