Mohon tunggu...
eddy lana
eddy lana Mohon Tunggu... Freelancer - Eddylana

Belajar menjadi tukang pada bidang yg dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya di Media Sosial

8 Mei 2021   08:08 Diperbarui: 8 Mei 2021   08:12 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di saat pertama kali membuka pintu dan menjejakkan kaki di salah satu Media Sosial, saya belum berpretensi apa yang saya harus lakukan dikancah  postingan gambar berikut komen itu (instagram ) . Pertimbangan nya adalah masalah usia yang melanjut ditambah kerja yang masih mengandalkan fisik. 

Mungkin juga, karena masih ada hambatan teknis berupa gaptek dan munculnya sebuah pertanyaan: mau bikin apa saya? Sampai berani-beraninya untuk unjuk muka di Medsos. Mungkin sebab itu tanpa sadar fokus saya jadi terpecah, sehingga menjadi kurang fokus dalam melipir isi kontennya. 

Setelah secara intens meluangkan waktu untuk berselancar dan melipir postingan demi postingan didalamnya, Barulah alam bawah sadar saya tersentak kagum bercampur kaget. Oo...Rupanya inilah sebagian dari realita Dunia maya yang sebenarnya ( instagram). 

Beragam konten menarik  antre menyajikan postur bermacam warna dan pesan. Dari bisnis sponsor, keluhan, bela sungkawa, pernikahan sampai agitasi dan provokasipun bisa disimak disini. Menurut penilaian saya, Instagram tidak terlalu vulgar dan malah terkesan komunikatif ( pandangan pribadi). 

Sebagai pribadi, para netizen diberbagai sosmed memiliki karakter yang sangat berbeda. Merekapun memiliki pandangan-pandangan tersendiri, politik, sosial, dan budaya. Masing-masing punya segmen yang boleh dibilang fanatik dan puritan, teristimewa pada Twitter dan Facebook

Akhirnya, saya terdampar di Twitter. Kepincut pada tampilan lahiriyahnya yang  berisik dan bersemangat. Suasana disini lebih dinamis, siapa kawan siapa lawan sudah otomatis terdeteksi lewat postingannya. 

Disini ( twitter ) suasananya lebih seru, adu argumen, silat kata, agitatif dll, membuat adrenalin di otak turun naik tergerus emosi. Diperlukan wawasan yang prima, sehingga kita mampu menghandel emosi agar terus stabil sambil memisah konten hoax. 

Tanpa merasa malu, saya memakai alias pada identitas akun saya ( Twitter dan Facebook). Silahkan kritik kalau merasa bahwa perbuatan itu tidak etis atau tak jantan. Dan akan saya jawab, saya tak melakukan kegiatan kriminal ataupun perbuatan melawan hukum. Malah sebaliknya, saya meng konter bias negatif dari postingan para pembenci pemerintah yang rajin berseliweran

Lalu  mengapa saya berbuat begitu? Di berbagai medsos yang saya ikuti ( kala itu), banyak postingan yang bersuara nyinyir dan negatif  yang ditujukan pada Pemerintah, para pejabat, bahkan pada Presiden. Dan kenyinyiran itu makin menggila sewaktu datangnya momen seperti Pilkada, Pilgub, PilPres. 

Dan tugas saya sebagai warganet yang notabene Rakyat di Republik ini, untuk menetralisir suara-suara miring dari pihak tak bertanggung jawab yang ditujukan pada Pemerintah. 

Dan ndilalahnya mayoritas para penyinyir itu juga memakai alias pada akun mereka, sebagian lagi menggunakan akun bodong. Diduga hal itu dilakukan secara sistematis dan terarah serta adanya aliran dana dibalik kegiatan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun