Mohon tunggu...
Eddi Kurnianto
Eddi Kurnianto Mohon Tunggu... Jurnalis - orang kecil dengan mimpi besar.

orang kecil dengan mimpi besar.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

RESENSI : JAVA HEAT

8 April 2013   18:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1365422586130846316

Satu lagi film aksi tentang Indonesia dibuat oleh pembuat film Eropa.Java Heat judulnya. Film ini di shooting di Jogjakarta. Tak tanggung-tanggung, mereka melakukan shooting di sekujur Jogja, mulai dari keraton, Sarkem, Borobudur sampai sebuah restoran mewah yang dijadikan setting rumah sang tokoh utama; komandan detasemen 88 anti terror.. Sebagai film aksi, film ini plotnya berjalan lambat, tapi aksi didalamnya cukup menarik. Dengan resep Hollywood (wanita sexy, cowok kekar, dar der dor, kejar-kejaran mobil dan komentar- komentar ’smartass’ ala Hollywood)  seharusnya membuat Java Heat tidak terlalu buruk sebagai film aksi. Diawali dengan flashback seorang bule, Jacob (Jake) Travers yang ditahan karena menjadi saksi peledakan istana Sultan Jogja. Putri Sultan yang dipanggil Sultana – yang diperankan oleh si cantik Atiqah Hasiholan – diduga tewas dalam serangan terorisme. Densus 88 anti terror pun dipanggil, dan munculah Letnan Hasyim (Ario Bimo) jagoan nan bijak dan cerdas, komandan densus anti terror itu. Mereka berdua adalah tokoh utama film ini. Jake dan Hasyim kemudian bahu membahu memecahkan misteri pengeboman di istana.Situasi semakin tak terduga saat mereka mengetahui fakta (yang mudah diduga) bahwa Sultana masih hidup. Dua serangkai inipun terjebak dalam pusaran intrik perebutan kekuasaan istana, dan rencana terorisme yang mengancam Jogja. Saat makin dekat dengan dalang semua peristiwa itu, Letnan Hasyim kemudian menyadari Jake telah membohongi dirinya, dan saat keluarganya diculik, ia terpaksa harus memilih; membiarkan keluarganya disakiti atau mencoba melawan istana dan seluruh Jogja. Karakter para tokohnya dibuat cukup detail walau terkesan klise.  Letnan Hasyim yang walau polisi tapi sangat sembarangan dalam mengendarai mobil, Jake yang desersi tapi masih selalu bisa mengandalkan teman-teman marinirnya dengan jargon simper fi (kesetiaan corps), Jendral Sriyono atasan densus 88 yang korup dan terlalu peduli pada citranya. Konflik rumit dan teka teki juga  dicoba dihadirkan di awal cerita, termasuk dengan memunculkan Achmed, teroris dengan gaya islami yang nyaris selalu menenteng senapan serbu. Sayang gaya berteka teki itu terabaikan dengan memunculkan tokoh Malik, diperankan Mickey Rourke dengan gaya khasnya. Sejak muncul tokoh ini, rasanya alur cerita mulai tertebak dan bergerak sederhana. Banyak jargon dalam masyarakat Jawa yang dimanfaatkan film ini. Bule, yang diterjemahkan sebagai “stupid white person”, atau gaya Achmed si teroris yang serba islami, atau Romantisme prajurit keraton yang berseragam tradisional tapi bukannya menyandang tombak atau pedang tapi malah bersenapan mesin. Rasanya film ini memang dikerjakan oleh orang-orang yang mau bersusah payah meriset tentangIndonesia dan membumbui hasil risetnya agar menarik menjadi setting sebuah film aksi ala Hollywood. Banyak juga beban yang disangkutkan dalam film ini, seperti toleransi beragama diIndonesia yang muncul dalam hubungan antara letnan Hasyim yang islam dan subordinatnya Anton yang nasrani. Film ini juga memunculkan teroris bergaya muslim, tapi juga bersusah payah menunjukkan bahwa terorisme itu bukan mengenai agama. Banyak harapan dikepala saya  saat pertama kali menonton film ini, yang walaupun bukan film Indonesia tapi sarat dengan nama-nama terkenal di jagad perfilman bangsa ini.  Saya berharap menonton film tentang Indonesia sekelas ‘The Year of Living Dangerously’ ‘eat, pray, love’ atau bahkan  ’Merantau’ saat menonton Java Heat yang teasernya sangat menjanjikan. Nama Rudi wowor (sultan Jogja), Frans tumbuan ( jendral sriyono), Mike Luckok (ahmed), Rio Dewanto (Anton, anggota densus), dan Tio Pakusadewo (vizier), rasanya cukup memberi harapan. Tapi ternyata makin tinggi harapan makin tinggi juga kekecewaan yang mungkin timbul. Secara keseluruhan saya hanya akan menilai film ini sebagai 6 dalam skala 10 dari penilaian terhadap film aksi. Film ini berjalan terlalu lambat, terlalu banyak menjelaskan latar belakang sehingga aksinya terasa kurang.  Terlalu banyak percakapan sok pintar diantara dua tokoh utamanya. Sebagai penonton yang berharap aksi, film ini jelas terlalu lambat.. Munculnya Mickey Rourke, yang jelas kelihatan terlalu tua, juga tak terlalu berhasil menghidupkan sosok penjahat cerdas dan dingin. Meski begitu ada satu hal yang menghibur saya. Gambar-gam,bar indah yang mengeksploitasi kota Jogja, budaya, angle-angle unik dan detail yang mempesona dari Shane Dalley  sang Director of Photography, membuat  saya tak beranjak dari duduk.Rasa kangen saya pada sudut-sudut Jogja yang saya kenal seperti terpuaskan. Rasanya memang pujian tinggi pada pemilihan setting dan pengambilan gambar harus saya sampaikan. Penutup yang di shooting dalam eksotisme Borobudur, seolah menjelaskan bahwa film ini indah. Secara aksi memang kurang, tapi sebagai tontonan mata, film ini cukup menyenangkan. Mungkin cocoknya film ini dikategorikan sebagai film aksi pariwisata.. eddi kurnianto resensi ini juga muncul di Blog saya: berlianbiru.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun