Mohon tunggu...
Eddie MNS Soemanto
Eddie MNS Soemanto Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Humor

Buku puisinya Konfigurasi Angin (1997) & Kekasih Hujan (2014). Saat ini bekerja di sebuah perusahaan otomotif.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Swalayan Vs Swalayan

13 Juli 2016   23:54 Diperbarui: 14 Juli 2016   00:40 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Pak, kembaliannya dua ratus diganti permen saja ya, Pak?" ujar kasir di sebuah swalayan kotaku, yang konon katanya anti supermarket dari luar. "Boleh," jawabku sambil menerima permen dan bill belanjaanku yang dietakkan begitu saja di atas meja kasir. Aku merasa tangan kasir itu tak mau bersentuhan dengan tanganku saat memberikan permen tadi. Haruskah se-begitunya? Betul sih, di dalam agama yang kuanut, hal demikian memang terlarang. Bukan muhrim. Tapi apa tidak bisa diiringi senyum, atau permintaan maaf? Beginikah cara melayani pelanggan yang diajarkan oleh pemilik swalayan? Tak mungkin rasanya. Swalayan sebesar ini (kabarnya cabangnya juga banyak) tidak mungkin tidak mengajarkan sopan santun. Apalagi pelayannya banyak berjilbab.  Sambil berjalan ke mobil, aku mencoba menebak-nebak, apa kasirnya tadi kecapean? Atau, mungkinkah kehausan? Tapi ah, apapun alasannya, tidak bisa jadi alasan untuk tidak sopan kepada pelanggan.  Padahal pelanggan ini sudah dihadapkan pada pilihan, tak bisa menawar! Harga sudah tertera di barang yang dibeli. Selama aku berbelanja di situ -kebetulan searah dengan jalan pulang- tak pernah sekalipun swalayan itu menawarkan paket diskon. Boro-boro diskon, program hadiah yang ada cuma menjual program hadiah dari produsen. Biasanya produk susu, teh, atau sabun cuci. Tahu kan hadiahnya? Ya, kalau tidak gelas, ya piring? Paket hadiah atau diskon dari pemilik swalayan? Tidak pernah ada papan pengumuman, hari ini atau minggu ini, atau bulan ini, beli dua dapat satu gratis. Atau belanja dengan kelipatan dua ratus, dapat diskon sekian. Keterlaluan, pikirku. Aku sampai berpikir, dari mana mereka -para pemilik swalayan itu- menentukan patokan harga? Berapa persen keuntungan yang mereka ambil dari produsen? Sementara satu sisi, mereka hampir tidak ada dikenakan ongkos kirim. Setahu saya, biasanya produsen yang kerap mengantar ke swalayan tersebut.  Pantesan waktu ada rencana mini market luar masuk ke kotaku, mereka seperti kebakaran jenggot. Mereka takut keuntungan mereka berkurang. Demi dalih keuntungan berkurang dihembuskanlah bahwa mini market yang akan masuk akan memonopoli barang, dari hulu ke hilir. Ini akan mematikan usaha anak negeri, begitu yang kubaca. Hebatnya, malah meminta perlindungan pemerintah, yang akhirnya melahirkan 'holding' super market yang abu-abu (syukur akhirnya hal ini ditunda). Aku bukan pendukung mini market luar itu. Apa pun itu rasanya tak ada pengaruh buatku untuk berbelanja. Tetapi, ada baiknya meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Ajarkan etika dan sopan santun kepada karyawan. Apa salahnya membuat program menarik buat pelanggan yang setia belanja. Janganlah melulu mengejar laba.  Bukankah menjadi besar itu karena ada pesaing? Janganlah takut bersaing, dipakai pula sentimen agama agar supaya mereka tidak masuk. Terlalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun