Bersih Kampung
Akhirnya acara pembersihan kampung pun dilaksanakan. Hari ini seluruh warga berkumpul di aula desa untuk menjalani prosesi adat untuk membersihkan desa mereka dari bala. Berbagai macam sesaji disediakan oleh masyarakat. Sesaji tersebut dibuat dari hasil bumi seperti hasil perkebunan dan pertanian di desa mereka. Ada pula aneka kue dengan berbagai macam bentuk dan warna. Beberapa diantaranya bahkan terdapat hewan ternak seperti ayam hitam, ayam putih dan seekor kerbau.
"Wati, tunggu!" Kuhampiri Wati yang sedang membawa tampah berisi tumpeng dengan aneka lauk pauk dan hiasannya.
"Kamu datang?" Wati mengernyitkan dahinya.
"Iya. Kuputuskan aku akan datang ke acara ini. Tapi aku sendirian. Rudi nggak mau ikut."
"Oh...." Kemudian kulihat senyum mengembang di wajah Wati. Manis sekali.
"Ada yang lucu?" Aku menunjuk wajahku sekedar mengalihkan suasana yang mulai bikin kacau jantungku.
"Nggak. Aku senang aja kamu datang ke acara ini." Wati berjalan kembali sambil mengangkat tampah yang sepertinya berat baginya.
"Sini, aku bantu." Tanganku pun langsung memegang tampah tersebut.
Tak sengaja tangan kami bersentuhan. Rasanya aliran darahku semakin lancar. Wajahku terasa hangat.
"Eh... nggak usah. Aku bisa sendiri, kok." Wati mengalihkan tampah yang dibawanya menjauh dari tanganku.
Kami pun berjalan beriringan menuju ke aula desa. Dalam perjalanan yang tak begitu jauh, diam menemani kami. Tiba tiba saja aku kehilangan topik untuk dibicarakan. Kulihat Wati pun seperti salting gara gara kejadian yang tak sengaja tadi. Wajahnya begitu hangat kemerahan. Dia cantik sekali hari ini dengan mengenakan setelan kebaya dan sarung tradisional. Rambutnya yang panjang kini diurai ditambah sematan bunga di telinganya, menambah anggun penampilannya.
"Semua ini untuk apa?" Aku pun membuka pembicaraan setelah Wati meletakkan sesaji di aula desa.
"Dilarung ke sungai."
"Apa!? Jadi bukan untuk dimakan warga?"
"Nggak. Nggak boleh. Ini persembahan buat penghuni hutan. Jadi kita tak boleh memakannya."
"Mubazir." Aku menggerutu.
"Apa?"
"Nggak. Nggak apa apa. Kamu cantik hari ini." Aku pun mengalihkan pembicaraan itu.
"Nggak usah ngegombal." Wati tertunduk malu.
"Beneran. Dengan rambut terurai begini, kamu terlihat lebih anggun."
"Ayo ikut aku!" Wati mengajakku ke suatu tempat di samping aula.
"Aku mau kamu pakai ini." Tangannya mengambil sesuatu dari balik ikatan kain kuning di pinggangnya.
"Apa ini?" Aku keheranan melihat jalinan benang hitam yang diikatkan ke tangan kananku.
"Ini menjaga supaya kamu aman dan terlindungi. Jangan dilepas ya. Kumohon." Kedua tangannya pun mengatup di depan dada untuk memohon setelah dia selesai mengikatkan gelang itu ke tanganku.
Aku pun hanya mengangguk saja. Menuruti apa yang dia pinta. Seperti kerbau di colok hidungnya sambil memandang gelang hitam yang melingkari pergelangan tanganku kini. Memang berada di acara adat seperti ini memberikan aroma mistis yang tak biasa. Aku pun jadi keder karenanya. Ada rasa bimbang antara percaya dan tidak percaya yang berkecamuk di pikiranku.
Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁✌️
EcyEcy; Benuo Taka, 22 Nopember 2019