Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang Kembali

15 Oktober 2019   21:56 Diperbarui: 15 Oktober 2019   22:08 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini aku mendatangi pantai itu kembali. Entah sudah yang keberapakali kuhabiskan senjaku di pantai itu. Menikmati Sepoi angin yang semakin dingin. Mendengarkan debur ombak yang semakin ramai. Dan menanti datangnya gelap yang semakin pekat. Seperti hatiku kala itu, terasa sepi sejak kehilanganmu. Dan berada di pantai ini adalah kilas balikku tuk mengenangmu.

Bagaimana bisa aku seperti ini? Hati kecilku pun bingung harus menjawab apa? Namun satu yang mampu membuatku melakukan semua ini. Kerinduanku padamu yang masih lestari. Mungkin itulah yang membuatku bertahan dalam buih buih kenangan masa silam. Yang semakin kuhempaskan, maka semakin cepat ia menepi dalam angan. Seperti terbawa ombak, meski jauh kulemparkan, pasti kan kembali ke tepian.


Aku ingat sore waktu itu. Bening matamu melelehkan butiran pilu. Raut wajahmu menggambarkan kecemasan hatimu. Sedangkan aku hanya membisu. Seperti besi berkarat yang tak mampu bergerak. Berat.


"Aku nggak mau, Mas." Lirih ucapmu terasa berat masuk ke telingaku.


Tanganku hanya mampu membelai rambut panjangmu yang tertiup angin senja penuh lara kala itu. Aku tak kuasa menolak takdir yang telah tertulis di lauhul mahfudzNya.


"Perjuangkan aku, Mas." Itulah kalimat harap yang dia ucapkan kala itu.


Entah mengapa aku begitu pasrah menerima takdir tanpa mau berusaha lebih lagi demi mengubah nasibku. Bukankah Tuhan senang dengan hambaNya yang mau berusaha? Dan aku tahu itu. Tapi tak ada kekuatanku untuk mengatakan iya padanya waktu itu.


Sejak saat itu, saat aku tak kuasa menahan kekecewaan dalam hatimu, aku tak pernah melihatmu lagi di pantai itu. Hanya undangan pernikahanmu yang sampai dikedua tanganku yang bergetar menahan sakitnya kekalahan. Aku kalah dengan ketakutanku. Aku kalah karena tak bisa mempertahankan hati dan ragamu untukku.


Dan kini, di pantai itu. Aku kembali mengingat sakitnya kehilanganmu. Kehilangan separuh jiwa dan hatiku. Sebab ketakutanku pada ketidakberdayaanku mengubah kutukan nasib yang selalu menghantui pikiranku. Bukan karena pengkhianatan. Namun karena kepasrahan yang berlebihan. Kini aku menyesalinya.

Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁✌️
EcyEcy; Benuo Taka, 14 Oktober 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun