Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kami (Guru) Memberi Kail, Bukan Memberi Ikan

2 Mei 2019   13:58 Diperbarui: 2 Mei 2019   21:49 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari di sebuah Sekolah Menengah Pertama sedang dilaksanakan pendaftaran calon peserta didik baru. Banyaknya antrian pendaftar menandakan sekolah itu begitu menarik bagi anak-anak lulusan Sekolah Dasar di sekitarnya. Bahkan ada juga pendaftar dari luar kota yang ikut berdesakkan demi mendapatkan formulir pendaftaran.  Jumlah pendaftar dari hari pertama sampai hari terakhir ternyata melebihi kuota yang disediakan sekolah. Akhirnya sekolah mengambil kebijakan untuk diadakan perangkingan nilai sebagai upaya perekrutan peserta didik baru.

Tibalah saatnya pengumuman peserta didik baru yang akan diterima di sekolah itu. Bukan hanya peserta didiknya saja yang gelisah menunggu pengumuman itu, namun orang tua yang ikut mengantarkan anak-anaknya  pun terlihat lebih gelisah lagi. Kegelisahan itu muncul mengingat sekolah itu menjadi harapan dan cita-cita anak tersayang mereka. Sekolah itu juga lebih dekat dengan rumahnya, sehingga orang tua tidak terlalu disibukkan dengan antar jemput anak nantinya. Sedangkan pendaftarnya banyak juga yang berasal dari luar daerah mereka. Entahlah, apa yang ada di benak orang tua sambil menunggu pengumuman tersebut.

Tepat jam delapan pagi, panitia penerimaan peserta Didik baru di sekolah itu keluar dari ruang kantor sambil membawa papan tulis yang telah ditempel beberapa lembar kertas pengumuman. Pasti kertas itu berisi nama peserta didik baru yang mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di sana. Tak berapa lama setelah papan tulis di letakkan pada tempatnya, sekejap itu juga papan tulis itu tak terlihat lagi karena langsung dikelilingi oleh pendaftar seperti dalam kerumunan masa. Ada orang tua dan juga anaknya berbaur di sana mencari tulisan nama anak-anak mereka.

Ternyata tak semua harapan terkabulkan. Ada yang diterima dan ada yang terpaksa harus mencari sekolah lain karena melebihi batas quota yang disediakan sekolah. Ada yang tertawa bahagia ketika bercengkrama dengan orang terdekat mereka. Namun ada pula yang tertunduk sedih harus menerima kenyataan yang tak seperti apa yang diinginkannya. Lalu berjalan tergesa-gesa untuk menarik formulir pendaftaran agar dapat mencari sekolah lain yang sebelumnya tak pernah di harapkannya.

Begitulah phenomena pendaftaran peserta didik baru setiap tahunnya. Selalu diwarnai dengan perebutan bangku sekolah yang kata mereka favorit dan terbaik di daerahnya. Hingga akhirnya, ada anak yang harus bersekolah jauh dari rumahnya. Pergi pagi buta dan harus pulang hampir senja hanya karena antri menunggu angkutan yang belum tentu jalannya lancar semua. Keletihan belajar ditambah keletihan perjalanan membuat anak jadi kehilangan kenyamanannya. Rasa lelah membuat anak tidak maksimal dalam belajar dan pengembangan dirinya.

Namun sejak dikeluarkannya Peraturan Mendikbud No. 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), maka sistem penerimaan anak sekolah harus berdasarkan jauh dekatnya jarak rumah ke sekolah. Aturan ini dikenal dengan sistem zonasi. Jadi, sekolah tak diperkenankan menggunakan patokan nilai rapot atau pun nilai ujian nasional sebagai persyaratannya. Apalagi melakukan tes seperti baca tulis dan berhitung untuk anak sekolah dasar. Kenyataan ini menimbulkan dampak baik dan buruk bagi keberlangsungan pendidikan.

Dampak baiknya, anak tak perlu lagi merasa kelelahan karena harus melalui perjalanan panjang ke sekolah. Sebab mereka diberi kesempatan untuk bersekolah di sekitar tempat tinggal mereka. Orang tua tidak perlu resah jika mendaftarkan anaknya di sekolah-sekolah terdekat. Karena sekarang tidak perlu tes atau perengkingan nilai lagi. Ujian nasional bukan lagi momok yang menakutkan bagi siswa karena nilai ujian nasional bukan lagi menjadi patokan untuk mereka melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.

Namun dibalik itu semua, ada dampak buruk bagi peserta didik baru. Anak yang sebelumnya berprestasi di jenjang sebelumnya tidak diberikan kesempatan yang besar untuk sekolah di sekolah unggul dan favorit karena keterbatasan quota yang ada. Berdasarkan peraturan, quota siswa berprestasi  yang diperbolehkan hanya 5 % dari total quota yang disediakan sekolah. Jika dihitung secara matematis, untuk sekolah yang hanya menerima 6 rombel (ruang belajar) yang berisi 32 siswa, berarti sekolah hanya boleh menyediakan 10 kursi bagi siswa berprestasi. Tidak sampai satu kelas. Sehingga peluang anak berprestasi yang rumahnya diluar zonasi sangatlah kecil.

Namun segala perbaikan dalam hal PPDB ini dilakukan untuk memicu sekolah biasa menjadi lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan pendidikannya. Dan memberikan kontrol pada sekolah favorit dan unggul agar tidak terlena dengan zona nyaman yang selama ini mereka dapatkan. Pada akhirnya keadilan yang diharapkan dalam PPDB bisa dilakukan meskipun bagi anak berprestasi menjadi sedikit kurang adil untuk mendapatkan sekolah yang terbaik karena keterbatasan quota yang disediakan sekolah.

Akan tetapi disitulah letak pembelajaran mandiri bagi anak dan orang tua.  Dimana pun anak akan bersekolah, kesuksesan dan keberhasilannya tergantung dari seberapa besar dia belajar dan berusaha. Seberapa besar peran orang tua dalam mengontrol dan memotivasi anaknya. Bukan siapa gurunya atau dimana sekolahnya. Karena peran sekolah dan guru hanyalah memfasilitasi anak untuk belajar dan berkembang sesuai bakat dan kemampuannya. Dan semua itu akan terlaksana dengan baik jika ada interaksi yang baik pula antara anak, orang tua dan sekolah.

Apalagi dengan penerapan kurikulum 2013 yang menuntut anak lebih aktif dan mandiri dalam pembelajaran. Dimana guru tidak harus menjejali pengetahuan yang dia punya langsung pada anak. Tetapi guru menuntun anak untuk menemukannya dengan berbagai macam metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Semuanya melalui proses dalam belajar agar anak bukan saja cakap dalam pengetahuan tetapi juga terampil dan berkarakter. Oleh sebab itu, sistem pembelajaran sekarang tidak bisa disamakan seperti dulu lagi. Anak harus lebih aktif dan mandiri dalam belajar. Karena guru bukan memberi ikan tetapi memberi kail agar anak dapat belajar bagaimana memancing dan mendapatkan ikan yang di inginkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun