Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mahasiswa dan Budaya Menulis

1 Maret 2012   01:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:43 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Media massa cetak Indonesia banyak memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk menulis. Sebutlah, misalnya, beberapa koran yang terbit di tingkat lokal dan nasional, tidak kurang jumlahnya yang menyiapkan rubrik yang bisa dimasuki para mahasiswa. SKH Kedaulatan Rakyat, menyediakan rubrik "Suara Mahasisa"; Harian Jogja (Harjo) menyediakan kolom "Suara Mahasiswa"; Suara Merdeka menyediakan rubrik "Debat Mahasiswa." Lalu, Seputar Indonesia menyediakan rubrik "Suara Mahasiswa", dan Solo Pos menyediakan "Mimbar Mahasiswa". Itu hanya untuk menyebut beberapa contoh. Banyak lagi rubrik yang bisa dimasuki mahasiswa dalam unjuk kebolehan kemampuan menulis di media massa. Tidak tertutup kemungkinan bagi mahasiswa sebagai penulis freelance untuk menulis di luar rubrik-rubrik tersebut.

Lantas, bagaimana keadaan budaya menulis di kalangan mahasiswa? Sesungguhnya menyenangkan sekali membaca tulisan para mahasiswa di berbagai media massa. Karakter menonjol tulisan komunitas ini pada umumnya ada pada idealisme. Banyak tulisan mahasiswa yang menyerukan keaktifan mahasiswa untuk menjadi agent of change atau menyoroti dan mengkritisi hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang dipandang tidak berada dalam kondisi seharusnya. Pembaca, bisa jadi, ikut tergugah dan bersemangat, dipengaruhi oleh opini sang mahasiswa penulis.

Akan tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, para penulis dari kalangan mahasiswa sangat sedikit jumlahnya. Rubrik-rubrik yang disediakan oleh media massa hanya diisi oleh orang yang itu-itu saja. Tak berbeda keadaannya dengan pers kampus. Jumlah penulisnya sama sekali tidak menggembirakan. Di samping jumlahnya sedikit, yang menulis juga sama orangnya. Kadangkala, pers kampus mengalami kesulitan naskah. Tidak banyak mahasiswa tertarik menulis di situ. Pertanyaannya, mengapa sedikit saja diantara mahasiswa yang suka menulis? Apa yang salah terkait dengan keadaan ini?

Jika ditelusuri ke awal, kebiasaan menulis itu sejatinya berkait erat dengan kebiasaan membaca. Bahkan, ada yang mengatakan baca dan tulis itu bagai suami-istri, selalu berdampingan. Orang baru terdorong untuk menulis apabila ia telah terbiasa membaca. Orang terdorong untuk terus membaca apabila ia terbiasa menulis. Nah, jika sejak awal orang tidak terbiasa membaca, apakah itu berupa buku, majalah, koran, informasi internet, dan sumber bacaan lainnya, niscaya akan sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menjadi penulis di media massa. Jadi, budaya membaca mesti dihidupkan sejak dini.

Keengganan menulis lebih diperparah dengan sistem ujian yang lebih memilih pola multiple choice, jawaban pilihan ganda. Hal ini sudah dilakukan secara terpola sejak sekolah menengah. Pola seperti ini sama sekali tidak mendorong peserta didik mengembangkan kemampuan mengorganisasi ide-ide ke dalam bentuk jawaban uraian/esai. Untuk pelajaran tertentu, memang multiple choice menjadi pilihan terbaik. Akan tetapi, banyak pelajaran yang pertanyaan bisa di-setting untuk mendapatkan jawaban uraian berdasarkan pemahaman atau pengetahuan para peserta didik. Acapkali, karena alasan kemudahan memeriksa dan keterbatasan waktu, maka dibuatlah soal-soal dengan pilihan ganda. Akibat lanjutannya, para siswa dan mahasiswa tidak terlatih mengekspresikan gagasan mereka ke dalam bentuk deskriptif. Tak salah, kalau hasil akhirnya, mereka tak bisa menuangkan ide-ide di kepalanya secara sistematis dengan menggunakan bahasa tulis yang baik dan benar.

Di samping itu, sejak dulu, budaya tutur/lisan di negeri ini lebih menonjol daripada budaya tulis. Orang mendapatkan dan menyampaikan informasi lebih banyak mengandalkan tuturan lisan. Budaya yang sudah terpelihara sejak lama ini, memang tidak mudah diubah, karena ini menyangkut mindset masyarakat kita sudah terbentuk sedemikian rupa sejak lama. Di mata masyarakat, seorang penulis yang jempolan jauh kalah pesonanya daripada seorang pembicara yang hebat.

Dalam hubungan ini, dunia pendidikanlah yang semestinya berada di depan untuk mengangkat budaya tulis ke tempat yang lebih terhormat. Dengan terbentuknya budaya menulis di dunia pendidikan, kita tak perlu lagi merasa terkejut dan gelagapan ketika tiba-tiba ada keharusan untuk membuat karya tulis, termasuk menyusun karya tulis ilmiah yang layak dipublikasikan ke dalam jurnal ilmiah sebagaimana diwajibkan belakangan ini.

Untuk menghidupkan budaya menulis, ada beberapa cara praktis yang bisa ditempuh. Pertama, "memaksa" mahasiswa untuk membaca buku referensi dengan menugaskan mereka membuat makalah/paper. Hal ini bisa dilakukan pada setiap mata kuliah yang sesuai.

Kedua, mendorong terbentukkan kelompok-kelompok diskusi mahasiswa, dimana hasil setiap kali diskusi mereka dikirim dan dikirim ke media massa atau pers kampus setempat. Ketiga, lebih sering lagi menyelenggarakan berbagai perlombaan penulisan, seperti penulisan ringkasan buku, resensi buku, penulisan buku fiksi dan nonfiksi, dan menyusun artikel dengan tema tertentu. Lomba-lomba seperti ini akan dapat lebih mendorong mahasiswa untuk berlatih menulis secara terus-menerus dalam rangka menyiapkan diri mengikuti lomba.

Keempat, meningkatkan pemahaman mahasiswa akan manfaat dari kemampuan menulis. Tak hanya dalam kaitannya dengan kemajuan studi, bahkan dalam hubungannya dengan kehidupan, seperti kebermanfaatan menulis untuk meningkatkan kreativitas, keberanian, kebangganan, kepercayaan diri, dan memperoleh honorarium sebagai imbalan atas dimuatnya tulisan. Kelima, menanamkan keyakinan bahwa menulis itu tidaklah sesulit yang dibayangkan. Menulis itu gampang, seperti kata Arswendo Atmowiloto, asalkan orang bersedia berlatih secara kontinu.

Keenam, memberikan penghargaan kepada mahasiswa setiap kali karya tulis mereka berhasil menembus koran/majalah, baik media daerah maupun nasional. Penghargaan ini bisa berupa uang maupun berupa piagam penghargaan atau kedua-duanya. Dengan demikian, dorongan untuk menulis para mahasiswa akan kian besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun