Saya tidak tahu entah kapan peribahasa berikut ini diciptakan. Saya sudah dapatkan begitu saja, dari orangtua atau dari pelajaran bahasa Bali, dulu. Sudah given, kata orang masa kini.
Kendati sudah lama ada, namun pelbagai peribahasa itu tidak lekang oleh waktu. Masih diingat, diwariskan, dan dipedomani dalam kehidupan masyarakat Bali, hingga kini.
Mengapa peribahasa lawas itu bisa lestari? Saya yakin karena nilai-nilai filosofis yang ada di dalamnya. Peribahasa ini rupanya diciptakan oleh para pendahulu untuk dijadikan pedoman hidup mulia.
Di samping dijadikan sebagai pegangan hidup, peribahasa tersebut juga menjadi rambu-rambu untuk mengingatkan agar orang tidak terlanjur salah dalam melangkah.
Misalnya, kalau sudah tahu lampu merah, mesti berhenti. Tapi, jika terus saja menerobos, ya, itu namanya kebablasan alias melanggar. Peribahasa itu bagai lampu traffic light, menjadi rambu-rambu sekaligus sesuluh.
Belajar Semasih Muda
Salah satu peribahasa yang kondang di berbagai wilayah di Bali bertajuk tentang pentingnya belajar selagi usia masih muda dan pentingnya ketekunan dalam belajar itu. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama-tama peribahasa tentang perlunya belajar selagi muda. Terkait ini, Bali memiliki peribahasa yang berbunyi sebagai berikut:
buka ambengane, di cerikne mangan, di wayahne puntul.
Apa makna peribahasa tersebut? Arti harfiahnya adalah seperti tanaman ilalang, pada saat muda akan tajam, tapi saat tuanya tumpul.
Pembaca tentu tahu seperti apa tanaman yang bernama ambengan atau ilalang (fountain grass) itu. Tanaman ini sedikit lebih besar ukurannya dan lebih panjang dibanding rumput pada umumnya yang kita kenal. Daunnya yang muda cenderung tajam dan keras, tapi kalau sudah tua akan panjang dan tumpul.
Ambengan ini sangat mudah ditemui di tegalan atau pematang sawah. Peternak sapi terkadang mencampurkan rumput dengan ambengan sebagai makanan sapi mereka. Lebih afdal lagi bagi sang sapi peliharaan jika ditambah dengan dedaunan, seperti daun waru, daun santen, dan lainnya yang disukai para sapi.