Lalu, ide-ide itu saya rapikan lagi bahasanya. Tidak hanya itu. Ide-ide yang masih tidak teratur itu saya urut agar logis dan sistematis. Saya ambil hanya ide-ide yang paling relevan dengan topik yang saya jadikan acuan. Yang tidak relevan, saya buang.
Nah, dari gagasan-gagasan yang sudah tertulis secara sistematis itulah saya memulai menulis dari awal hingga akhir, menyusun alinea demi alinea, sampai terwujud sebuah karangan yang utuh. Begitulah cara saya menulis, tentu juga cara para penulis lainnya.
Outline di Kepala
Akan tetapi, bagaimana dengan menulis outline di kepala? Bagi kebanyakan penulis pemula, menulis kerangka karangan di dalam kepala, tidak dianjurkan. Mengapa? Sebab, hal ini akan terasa sulit. Jika tidak macet di tengah penulisan, kemungkinan besar tulisan yang tercipta ngalor-ngidul alias tidak terarah.
Akan berbeda halnya dengan penulis yang sudah berpengalaman, penulis yang sudah banyak menghasilkan karya dan sudah malang-melintang di dunia penulisan. Untuk membuat sebuah artikel dua-tiga halaman, mereka tidak harus membuat outline.
Cukup memikirkan topik yang akan ditulisnya, membayangkan alurnya, lalu ia langsung menulis. Kata-kalimatnya langsung mengucur keluar dari kepala dan tertuang ke atas kertas atau tertuang ke atas komputer.
Tetapi, bagaimana bisa? Bisa sekali! Penulis-penulis yang sudah mahir sering melakukan hal ini. Mereka tidak lagi membuat kerangka karangan, melainkan langsung tancap gas: menulis! Nah, setelah beberapa lama, tulisannya pun jadi.
Duh, kalau begitu enak dong jadi penulis mahir? Tidak perlu repot-repot membuat outline, bisa langsung menulis. Ya, benar, mereka tampak bisa bekerja dengan semudah itu.
Akan tetapi, kemahiran yang mereka miliki tidak diperoleh secara instant. Mereka sudah melewati masa-masa sulit sebagai penulis, melewati banyak sekali rintangan, baik dari luar diri maupun dari diri sendiri. Dan, mereka berhasil lolos dari banyak kesulitan dan rintangan itu sehingga diakui sebgai seorang penulis andal.
Apakah mereka berhenti belajar? Tentu saja tidak. Mereka, seperti juga kebanyakan dari kita, tetap mesti belajar. Sebab, tanpa kemauan dan kemampuan belajar, penulis sudah membuat kuburan bagi produktivitasnya sendiri. Penulis yang baik adalah seorang pembelajar sejati.
Kalau mereka tidak lagi membuat outline sebagaimana dilakukan oleh para penulis pemula, bukan berarti mereka sama sekali tanpa memiliki outline. Bukan! Mereka "menulis" outline itu di kepala mereka! Ya, di dalam pikiran!