Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Tanpa Amplop kepada Kompasianer Bapak Katedrarajawen

27 September 2020   07:25 Diperbarui: 27 September 2020   07:31 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: akun profile Bapak Katedrarajawen

Selamat pagi, Pak Katedra. Mohon maaf kalau saya sering menyebut nama Bapak demikian singkat. Sama sekali bukan bermaksud tidak hormat. Tapi, hanya agar lebih mudah saja menyebutnya. Sama dengan Bapak ketika memanggil saya cukup dengan Pak Ketut saja, misalnya.

Maafkan saya harus mengganggu Bapak dengan surat terbuka ini. Surat yang blak-blakan, buka-bukaan, apa adanya. Tadinya saya hendak menggunakan fasilitas yang disediakan kompasiana: percakapan. Tapi, setelah menimbang-nimbang, saya akhirnya memilih cara ini. Biarlah pembaca lainnya bisa mengikuti.  

Dalam hati mungkin Bapak bertanya, ada problem besar apa sehingga saya merasa harus bersurat seperti ini kepada Bapak. Tenanglah, Pak. Tarik nafas yang dalam dulu sebanyak 3 kali agar Bapak tidak terkesiap.

Saya berjanji tak akan mengaduk-aduk suasana hati Bapak yang saya kenal sejak lama demikian tenang dan damai. Bapak memiliki hati yang damai, jauh dari kegalauan dan kegaduhan.

Kini Bapak bagai ayah yang mengemban, mengayomi, dengan perjalanan penulisan yang panjang. Lebih dari lima ribu artikel yang Bapak tulis, sebagaimana yang dihasilkan juga oleh Pak Tjiptadinata Effendi dan Pak Rustian Al Ansori.

Bahkan, ketika artikel ini saya susun, Bapak sudah menghasilkan 5.213 artikel. Luar biasa. Itulah salah satu alasan pengelola kompasiana menunjuk Bapak dan lainnya berbagi kisah perjalanan menulis yang sudah demikian panjang, berderet-deret.

Bapak sudah berhasil membangun sebuah jembatan emas sebagai kristalisasi dari kekokohan kepribadian, kedisiplinan, dan konsistensi dalam berkarya. Jembatan yang membentuk prestasi  dan mencirikan ketekunan sang empunya, yang layak ditempuh oleh siapapun nantinya.

Oh ya, Bapak selalu memerhatikan elan kehidupan, mempertanyakannya, mencarikan jawaban, mempertanyakan lagi, dan menemukan jawaban berikutnya. Sangat filosofis. Begitu terus, tak kunjung usai, dari waktu ke waktu.

Lalu, Bapak susun upaya reflektif itu ke dalam kata-kalimat yang padat bergizi. Di sela-sela uraian itu terselip ungkapan yang memotivasi, menyentuh hati, dan tak terbantahkan. Begitu, dan selalu begitu.

Bapak menulis semua itu, baik dalam bentuk puisi maupun artikel opini, selalu ringkas, tak bertele-tele. Tak hendak berpanjang-panjang tanpa guna, melainkan dengan menulis gagasan demi gagasan secara sederhana, secukupnya, dan mudah dipahami.

Saya masih ingat, melalui kolom komentar, Bapak pernah menganjurkan saya untuk membuat alinea yang pendek-pendek. Cukup dengan dua kalimat untuk membentuk sebuah alinea, tidak terbawa oleh kebiasaan menulis ilmiah yang berkecenderungan menggunakan paragraf panjang-panjang.

Akan tetapi, saya tetap saja belum sepenuhnya melakukannya. Bukannya membandel, melainkan karena saya acap lupa lantaran keasyikan merenda kata.

Tetapi, setelah mengunggahnya, sering saya kembali sunting karena tiba-tiba tersadar betapa saya sudah kurang memerhatikan anjuran Bapak. Akhirnya saya memecah lagi alinea tersebut.

Saya jadi ingat pelajaran bahasa yang secara sederhana menyebutkan bahwa satu alinea cukup dengan satu gagasan yang diwakili oleh satu kalimat inti dan diikuti dengan kalimat penjelas.

Hal inilah yang acap saya lupakan saking asyiknya menuangkan ide ke laptop dan dorongan keinginan segera mengunggahnya ke blog bersama ini. Untuk beberapa sudah saya lakukan, tapi beberapa yang lain masih belum.

Jika saya seorang murid dan misalkan Bapak Katedra guru, sudah seharusnya saya menerima ganjaran hukuman berupa jeweran kecil di telinga. Atau, mendapatkan sedikit pukulan penggaris kayu di lengan, sama dengan yang saya terima dari guru ketika masih sekolah dasar dulu. Sakit yang  membuat bangkit.

Tetapi, di atas semua itu, saya ingin mengatakan bahwa pengalaman dan perjalanan panjang Bapak telah membuktikan semua hal, tanpa perlu kata-kata pembelaan atau bantahan. Bapak memegang konsistensi, memiliki kebijaksanaan, dan pengayoman yang tulus. Semuanya dilandasi niat baik.

Teringat ketika awal-awal kita menulis di sini, dulu. Seperti apa? Semuanya berproses, menuju lebih baik. Tak hanya berusaha menjadi lebih baik dalam menata bahasa wacana, bahkan lebih arif dalam isi.

Bapak Katedra, surat terbuka tanpa amplop ini sebenarnya belum selesai. Diperlukan beberapa halaman lagi untuk menuliskannya secara lebih rinci. Saya belum lagi menulis betapa rajinnya Bapak berkunjung ke lapak saya dan para sahabat. Tapi, daripada membuat Bapak bosan, lebih baik saya sudahi saja.

Sekarang, jelaslah sudah, Bapak tidak saya buat terkesiap, bukan? Saya hanya ingin menyampaikan rasa salut atas karya-karya Bapak yang selalu dilandasi dengan niat baik untuk berbagi hasil renungan pemikiran kepada pembaca.

Catatan: Mohon ijin saya copy foto profile Bapak.

( I Ketut Suweca,  27 September 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun