Ruang Berbagi (Pak Bobby), menulis artikel bertajuk Wahai Penulis Bukan Pujangga, Jangan Takut Menulis Puisi Sederhana. Walau tak terlatih menulis puisi melainkan hanya senang menikmatinya, tetap saya baca artikel beliau sampai tuntas, lalu saya bubuhkan komentar. Begini komentar saya.
"Saran yang sangat baik dalam penulisan puisi.
Penulis-penulis puisi memang seharusnya tiada henti belajar, seperti halnya penulis genre lain.
Terima kasih Bapak, salam hangat selalu."
Atas komentar tersebut, Pak Bobby, membalas singkat, begini.
"Betul, Pak Suweca. Kita sebagai penulis adalah murid seumur hidup:). Â Terima kasih telah membaca dan berkomentar. Salam hormat."
Murid Seumur Hidup
Ada potongan kalimat Pak Bobby yang membuat saya tertegun sekaligus terinspirasi: "...penulis adalah murid seumur hidup." Sepotong kalimat yang menggoda saya mengeksplorasi dan menuliskan lebih lanjut di sini.
Sebelum lanjut, ijinkan saya menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Bobby, romo yang menginspirasi saya untuk menulis artikel kecil ini. Tanpa balasan komentar beliau, maka tulisan ini tak akan pernah tercipta.
Benar bahwa penulis adalah "murid" seumur hidup. Sebagai murid, tentu kewajiban utamanya adalah belajar. Kalau seorang penulis laksana murid, maka ia tak boleh berhenti menjalankan kewajibannya untuk belajar secara terus-menerus. Ia mesti siap menjadi seorang pembelajar sejati, orang yang tiada pernah menghentikan proses belajarnya.
Mengapa ia harus belajar? Karena, tanpa terus belajar, maka mustahil dia bisa terus-menerus menulis  dengan baik. Hanya sang pembelajar sejatilah yang akan menjadi penulis sejati. Begitu ia menghentikan kebiasaannya untuk selalu menambah pengetahuan dan memantapkan kompetensinya, maka ia akan terdegradasi dan pada akhirnya lenyap dari dunia penulisan bersamaan dengan bergulirnya waktu.
Menaati Aturan yang Berlaku