Mohon tunggu...
Eka Putra Nggalu
Eka Putra Nggalu Mohon Tunggu... Seniman - Komunitas KAHE

Penggiat Komunitas KAHE

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merefleksikan ‘Memoria Passionis’ (Tinjauan Reflektif - Kritis atas Eksistensi Agama dan Pancasila Dalam Upaya Rekonsiliasi Bangsa)

13 April 2014   16:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:44 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

1.Pendahuluan

Pengalaman sejarah berbagai bangsa tidak pernah lepas dari ingatan akan pengalamanpenderitaan-memoria passionis.Memoria passionis ini menjadi salah satu faktor yang membangun kesadaran akan adanya keinginan untuk bersatu oleh karena perasaan senasib yang juga turut membentuk karakter dan identitas suatu bangsa. Refleksi atas memoria passionis amat menentukanbagaimana sebuah bangsa mengambil sikap dalam mengahadapi realitas saat ini dan selanjutnya mengarahkan pandangan untuk melihat prospek yang akan diperjuangkan di masa depan.

Dalam sejarhnya, bangsa Indonesia juga terbentuk oleh karena adanya refleksi atas memoria passionis; ingatan akan pengalaman penderitaan akibat penjajahan Belanda maupun Jepang. Sejak kebangkitan nasional yang dipelopori oleh kaum cendikiawan muda tahun 1908, yang kemudian dilanjutkan pada pengikraran sumpah pemuda 28 Oktober 1928, dan berpuncak pada Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa Indonesia tidak pernah berhenti merefleksikan memoria passionis ini. Dalam merefleksikan memoria passionis ini, peran agama lewat tokoh-tokohnya tampak sangat penting dan menonjol.Agama berhasil menjalankan fungsinya dalam upaya membentuk iman bangsa Indonesia, menjawab berbagai pertanyaan seputar arti dan makna memoria passionis bangsa. Semangat iman akan yang Ilahi yang diyakini turut berperan dalam perjuangan bangsa, nyata terlihat dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia dan juga Pancasila sebagai ideologi negara yang dirumuskan oleh founding fathers and mothers bangsa kita.

Di lain pihak, sejarah mencatat bahwa agama-agama di Indonesia juga terlibat dalam melukis memoria passionis bangsa. Sejak awal, agama terlibat dalam dialog sengit dalam upaya perumusan ideologi negara.Hal ini terjadi ketika agama keluar dari ruang privat-spiritual dan mencari bahasa hukum politis dalam mengungkapkan serta melegitimasiperjuangan imannya atas nama kemanusiaan. Konflik kepentingan bahkan ideologiagamayang juga dipicu olehmemoria passionis tak bisa dihindari.Sejarah juga mencatat bahwa, pasca kemerdekaan, muncul rangkaian tahun-tahun kekerasan berdarah dan berbagai ancaman disintegrasi.Dalam kurang lebih enam dasawarsa terakhir muncul berbagai gerakan disintgrasi dari kaum ekstremis-fundeamentalis Islam, kudeta PKI, kerusuhan-kerusuhan pada masa Orde Baru hingga pra reformasi, kasus Timor-Timur, kasus Poso dan juga Gerakan Aceh Merdeka serta berbagai tindak kekerasan lainnya yang beberapa diantaranya juga membawa nama dan atribut keagamaan.

Tulisan ini mencoba menelusuri lebih jauh ambivalensi agama di Indonesia. Di satu pihak agama berperan penting dalam membangun religiositas bangsa, namun di pihak lain agama juga turut berperan dalam menciptakan memoria passionis bangsa.Fakta sejarah ini juga seakan mengumandangkan kembali seruan akan pentingnyapengintegrasian religiositas bangsa secara kolektif yang telah dirumuskan dalam Pancasila. Hal ini harus dimulai dalam agama-agama.Pengintegrasian relogiositas bangsa penting dalam upaya merefleksikan kembalimemoria passionis bangsa(yang juga turut diciptakan oleh agama) dalam upaya rekonsiliasi bangsasecara kolektif-universal.

2.Agama, Pancasila dan Memoria Passionis Bangsa

2.1.Konteks Historis Keterlibatan Agama dalam Memoria Passionis Bangsa

·Masa Orde Lama Hingga Orde Baru

Pada masa awal perkembangan pemerintahan Indonesia, muncul tiga kekuatan besar yang mencoba merebut kekuasaan dan menentukan arah penyelenggaraan negara Indonesia.Tiga kekuatan itu adalah, Komunis, Islam dan Nasionalis kebangsaan.

Sejak Proklamasi kemerdekaan Repubik Indonesia dikumandangkan, agama terlibat dalam dialog sengit mengenai ideologi negara Indonesia.Dalam hal ini Islam-lah yang menonjol karena prinsip “agama dan negara tidak dapat dipisahkan.”Kaum fundamentalis Islam menuntut agar penyelenggaraan negara yang dinyatakan dalam mukadimah UUD 1945, dijalankan berdasarkan syariat Islam.Hal ini ditolak oleh kelompok Kristen dari Indonesia Timur.Masalah perbedaan ideologi kemudian terpecahkan dengan dicetuskannya rumusan Pancasila sebagai ideologi negara.Namun disepakatinya Pancasila sebagai ideologi negara bukanlah titik final.

PKI adalah penganut paham komunisme.Inti perjuangan mereka adalah menciptakan kesejahteraan rakyat melalui pertentangan antar kelas, dalam masyarakat kelas bawah (buruh, tani, pekerja) dan masyarakat kelas atas (pemerintah, pemilik modal).Komunisme menganggap agama sebagai tingkah kelompok atas untuk meredam keinginan kelas bawah untuk maju dengan memberi mereka pahala surgawi.Karena itu Komunieme memusuhi semua agama.Teori kekerasan dipakai dalam mencapai program itu.Ada pemberontakan komunis pada zaman Hindia Belanda, dan ada pemberontakan komunis di Madiun tahun 1948 yang ingin mendirikan negara Soviet Indonesia.

Katolik mencuat dengan nilai pengabdiannya, lewat sekolah-sekolah maupun rumah sakit-rumah sakit yang menarik masyarakat.Terjalin hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Uskup Semarang, Mgr.Sugijopranoto, SJ. Uskup Sugijo mengumandangkan spirit “orang Katolik harus 100% Katolik, 100% Indonesia.” Maka didirikanlah Partai Katolik oleh A.J. Kasimo untuk mengontrol agar jalannya pemerintahan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai iman Katolik.Namun tidak ada semangat militansi dalam perjuangannya.

Dalam perkembangan selajutnya, Soekarno mencetuskan ide untuk menyatukan ketiga paham ini, dalam konsep negara NASAKOM.Ini tidak berhasil.Hal ini juga menjadi kegagalan konstituante dalam merumuskan UUD untuk menyatukan ketiganya.Kemudian Soekarno menjalankan demokrasi terpimpin dan cenderung berpihak pada kubu komunisme.Hali ini menimbulkan kemarahan dari kubu Islam.Terjadi pergolakan di sana-sini dalam rangka pendirian Negara Islam.Partai Islam yang paling militan dibubarkan Presiden, yaitu Partai Masyumi.Timbul dendam Islam terhadap PKI.

Tahun 1965, pecah gerakan penumpasan terhadap PKI.Hal ini terjadi pasca kudeta PKI yang ditandai oleh pembunuhan para jendral.Selain itu, aktivitas PKI yang menghalalkan kekerasan menimbulkan penderitaan serta memicu gerakan perlawanan.Kelompok Islam sangat antusias dalam upaya penumpasan PKI.Penumpasan PKI dijadikan alat oleh Soeharto dalam memantapkan kekuasaanya. Rakyat dibuat takut akankebangkitan kembali gerakan PKI. Segala hal yang berlawanan dengan kebijakannya dianggap sebagai gerakan PKI.Aktivitas Islam pun dibatasi.Timbul dendam dikalangan kaum fundamentalis Islam.Mereka menganggap jasa mereka tidak dihargai.Stigma terhadap eks PKI menimbulkan diskrimnasi.

·Masa Reformasi

Dalam masa reformasi, berbagai konflik dan kerusuhan yang membawa nama dan atribut agama muncul kembali. Di Maluku terjadi kerusuhan dan konflik yang ditandai dengan pengerusakan Gereja dan Masjid.Di Poso terjadi konflik dan pembantaian manusia yang dituding mengatasnamai umat Katolik dan Protestan.Ide tentang dibentuknya negara Islam kembali mencuat ke permukaan.Gerakan fundamentalis Islam kembali bergerak melalui jalur parlemen maupun non-parlemen.

2.2.OtorefleksiKritis Agama

Secara sosiologis fungsional, iman agama sebenarnya lahir dari refleksi manusia atas ketidakpastian, ketidakmampuan dan kelangkaan yang ada dalam diri dan kehidupan manusia.Hal-hal yang menonjol dari refleksi akan pengalaman-pengalaman ini adalah kefanaan, penderitaan, kejahatan dan keterbatasan manusia. Refleksi atas pengalaman eksistensial manusia ini menuntun manusia pada yang Ilahi, yang diyakini menjadi penyelenggara kehidupan manusia.Sebagai contoh, Yudaisme bersumber dari refleksi atas pengalaman bangsa Israel yang juga tidak lepas dari pengalaman penderitaan.Islam bersumber dari refleksi Muhammad atas tatanan sosial ekonomi, politik dan kemasyarakatan di Arab kala itu.Budhisme bersmber dari refleksi Sang Budha yang juga mengenai penderitaan.Kristianitas salah satunya bersumber dari penderitaan Kristus sendiri. Dengan kata lain, iman agama-agama sebenarnya lahir dari memoria passionis yang adalah pengalaman eksistensial umat manusia. Agama-agama besar terebut dengan nilai-nilai yang diusungnya telah memberi kotribusi besar dalam perkembangan peradaban di Indonesia maupun Asia.

Memoria Passionis bangsa Indonesia mengajarkan kepada kita bahwa agama memiliki wajah ganda, positif-konstruktifmaupun negatif-destruktif.Pada tataran ajaran, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kebencian, dendam atau konflik.Namun dalam tataran aplikasi sosialnya, ajaran agama tidak dihayati secara mendalam menjadi iman yang hidup. Di satu pihak agama berperan mengembangkan religiositas bangsa secara kolektif, namun di pihak lain dapat juga melahirkan sikap fanatisme dan eksluslivisme. Kunci persoalannya adalah ajaran agama institusional tidak dihayati sebagai iman, yakni penyerahan diri dengan rendah hati kepada Allah segala makhluk.

Agama secara fungsional sebenarnya memiliki peran sentral dalam membentuk religiositas suatu bangsa.Religiositas secara sederhana dapat dilihat sebagai kekuatan internal individu atau kelompok yang menghayati hidupnya sebagai anugerah Tuhan. Iman adalah sumber pikiran-pikiran kreatif dan sumber kreativitas karena ia membuat hati dan pikiran orang tetap terbuka dan berharap. Kedalamaniman akan penyelenggaraan Tuhan menentukan kualitas manusia dan peradabannya. Dengan kata lain, iman selalu memiliki korelasi dengan kehidupan sosial. Iman yang hidup adalah iman yang kontekstual.Iman itu bersifat personal dan cair, sedangkan agama bersifat institusional-normatif, yuridis-dogmatis dan kaku.

Selain itu, faktor-faktor ekstrem agama yang kerap meruncingkan permasalahan adalah sejarah curiga, prasangka yang sudah terus dibawa dari hubungan sosial antar agama.Data-data sosiologis menunjukan bahwa faktor ekstrem agama bermuara pada faktor psikologis manusia. Kendati, sistem primordial agama sangat berpengaruh dalam proses pembahsaan ajaran iman dan agama, namun manusia (person) yang menerima bukanlah objek yang kaku, yang statis. Manusia memiliki dimensi rasional, psikis dan spiritual yang mampu menentukan sikap penghayatan keagamaan.Manusia adalah subjek. Dengan tegas bisa dikatakan bahwa tidak cukup membangun dialog logis-rasional antar agama, tetapi diperlukan juga pendekatan afektif-psikologis bahkan spiritual. Maka ikhtiar mempertemuan secara dialog logis teologi kerukunanan, juga harus dilakukan secara bersama-sama dengan pencairan-pencairan psikologis saling curiga dan prasangka yang selama ini ada. Di sinilah persoalan-persoalan psikologis seperti mayoritas-minoritas; lalu ‘over presented’-‘under reppresented’ harus mendapat pencairan-pencairan psikologisnya.

Berbagai ahli psikologi mencatat bahwa salah satu ciri khas sikap beragama adalah coraknya yang menyeluruh.Di pandang dari sudut psikologi, tugas agama adalah mengintegrasikan seluruh kehidupan dan mempersatukan segala komponen kepribadian.

Berdasarkanskema Allport, dijelaskan tiga unsur dalam sikap beragama, yaitu pengintegrasian masa lampau untuk mengarahkan masa kini menuju masa depan, diferensiasi yang didatangkan dari konflik, identifikasi dengan Sang Teladan atau yang Ilahi yang mendatangkan sintesis pribadi dengan keanggotaan sosial.

Kesan-kesan pengalaman di masa silam ditinggalkan dalam afeksi pribadi yang mendalam dan tak terhapuskan. Keterarahan terhadap masa depan hanya bisa memperoleh fokusnya apabila segala ingatan afeksi khususnya dalam kaitan dengan pengalaman penderitaan deterima sebagai milik pribadi. Jika masa lampau ditekan, sejak saat itu juga masa lampau bekerja di luar kontrol si subjek.Masa lampau kemudian menjadi suatu deretan tingkah laku yang stereotipe.

Dalam kasus konflik yang melibatkan agama, kecenderungan untuk bereaksi secara negatif terhadap hal-hal yang mengusik rasa dan mengakibatkan munculnya rasa sentimen keagamaan adalah akibat dari tidak adanya pendamaian dan pengintegrasian pengalaman penderitaan masa lalu.Sikap religius penuh iman kepercayaan tidak jadi karena adanya pertentangan antara pengalaman masa lampau dengan kemauan masa kini.Agama dalam dirinya, harus terlebih dahulu melakukan refleksi mendalam. Agama dituntut untuk merefleksikan kembali pengalaman penderitaan masa lalu akibat konflik dengan agama lainya, atau pengalaman eksistensial yang menjadi alasan orangberagama. Pendamaian dengan masa lalu akan mencairkan sentimen-sentimen psikologis yang terepresi dan berpotensi melahirkan konflik.

Selanjutnya agama harus menerima secara dewasa adanya diferensiasi ilmu pengetahuan, pemerintahan dan bidang-bidang lainya dalam perkembangan peradaban.Agama tidak lagi bisa menyatakan diri sebagai pemilik kebenaran tunggal dengan logikanya sendiri.Sikap religius yang dewasa adalah tidak menjadikan bidang-bidang kehidupan itu sebagai miliknya sendiri, tetapi mengakui otonominya sekaligus mengintegrasikan bidang-bidang itu ke dalam sikap beragama (religiositas) yang mampu menjiwai semua bidang tersebut tanpa mencampurinya.Dalam konteks kehidupan berpolitik, agama harus “tahu diri.”Dalam arti bahwa perlu adanya pembatasan ruang gerak dan partisipasi agama dalam tata penyelenggaraan negara.Agama harus menentukan proporsinya dalam kegiatan politik aktif.Islam mendapat tantangan yang berat karena sampai saat ini mereka masih mengakui adanya penyatuan antara agama dan negara.Secara fundamental dan substansial, teori ini mengkritisi berbagai konflik ideologis yang melibatkan Islam dalam usahanya merebut tata penyelenggaraan negara.

Memperjuangkan sintesis baru antara distingsi antara agama dan negara, serta diferensiasi yang terjadi bukanya tanpa konflik. Memang secara teoretis tidak terlalu sulit memahami bahwa proses sekularisasi menguntungkan kedua belah pihak (negara dan agama). Hanya kalau urusan agama dibedakan dari negara, agama dapat dianut, dihayati dan diamalkan dalam negara apa saja, bagaimana pun bentuknya. Sebaliknya, negara dapat memberi tempat bagi agama apa saja, bagaimana pun wujud konkretnya. Dalam konteks Indonesia yang sebenarnya telah memiliki dasar religiositas kebangsaan dan dirumuskan secara amat bijaksana dalam Pancasila, penerimaan dan respek terhadap eksistensi agama lain seharusnya lebih mudah ditumbuhkan. Sayangnya ketika ketegangan terjadi masing-masing pihak (baik antar agama maupun agama dan negara) cenderung membuat apologet atau pembenaran-pembenaran tindakan mereka yang memperjuangkan tatanan manusiawi.Dalam hal ini agama dijadikan motif dalam tindakan yang berbau politik.Hal ini keliru karena agama sebenarnya terutama mengemban tugas religius, yaitu menghubungkan manusia dengan Allah yang transenden. Tidak pada tempatnya jikaiman dan agama ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan yang manusiawi belaka. Dalam hal ini yang ditekankan adalah ‘guna’-nya agama demi keamanan, ketertiban dan penyelenggaraan negara.

Demi memperjuangkan sintesis baru, diperlukan adanya pengintegrasian nilai-nilai yang telah didiferensasikan dalam berbagai bidang kehidupan yang otonom dengan nilai-nilai atau iman agama.Yang menjadi syarat supaya usaha ini berhasil adalah motivasi beragama harus diarahkan kepada Tuhan sendiri, demi Tuhan sendiri dan bukan semata-mata dan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan insaninya.Hanya jika demikian, agama menjadi cukup universal untuk merangkul kepentingan-kepentingan manusiawi terutama menyangkut masalah kemanusiaan. Sejauh agama tidak dilihat melulu secara fungsional-manusiawi, sejauh itu agama menjadi daya kekuatan yang dinamis , malahan bagi nilai-nilai insani. Agama yang sejati memperluas horison dan dengan demikian memperluas pembebasn bidang-bidang manusiawi. Agama yang sejati membuat kita sadar akan transendensi Allah yang telah menyerahkan dunia kepada manusia untuk diatur, diolah, dikerjakan dan dimanusiakan sesuai dengan hukum-hukum alam dunia dan manusia.

Agama juga harus kembali mengkritisi proses identifikasi personal maupun kolektifyang membentuk iman mereka. Jika Islam misalnya, mengidentifikasi Muhammad sebagai tokoh anutan, perlu diberi penekakan yang jelas antara perannya sebagai pemimpin agama dan juga pemimpin negara.Identifikasi personal ini penting karena sangat mempengaruhi identifikasi kolektif sebagai sebuah institusi.Jika sebagai institusi sosial agama telah mampu memberi porsi yang tepat terhadap ruang geraknya (privat dan publik), maka hal ini harus diarahkan pada dimensi teologis, yaitu agama seharusnya mempersatukan manusia dalam persekutuan persaudaraan (bersifat komuniter).

2.3.Refleksi kritis atas Pancasila sebagaiCivil Faith Bangsa Indonesia

Kita telah melihat bersama bahwa agama memiliki wajah ganda.Di satu pihak agama menumbuhkembangkan akar religiositas bangsa.Namun, sebagai sebuah institusi sosial yang otonom, masing masing agama memiliki bahasanya sendiri dalam merumuskan ajaran iman dan dogmanya.Relativitas pembahasaan ini yang membuka berebagai kemungkinan penafsiran, sehingga seringkali spirit dasar dan nilai-nilai universal menyangkut kebaikan, kebahagiaan dan perdamaian mengalami pendangkalan dalam aplikasi sosialnya.

Para pendiri (the founding fathers and mothers) bangsa Indonesia sebenarnya telah berhasil memecahkan dengan begitu bijaksana konflik ideologis agama ini. Pancasila sebagai buah kebijaksanaanpara pendiri bangsa sebenarnya telah memuat nilai-nilai universal, inklusif, spiritual, dan sosial etis yang proeksistensi bagi semua suku, golongan, kaum, dan kebudayaan di bumi Nusantara. Itulah religiositas bangsa Indonesia yang menghormati pluralitas (keragaman) dan mempromosikan komunitas madani.

Dari rumusan dan urutanya, nyata bahwa pengalaman kerohanian menjadi inti yang menjiwai gerak langkah sila-sila berikutnya.Pengalaman kerohanian atau relasi vertikal dengan Tuhan merupakan bagian integral dari aktivitas sosial sehari-hari.Bangsa Indonesia menyadari bahwa keberhasilan mereka dalam perjuangan mencapai proklamasi bukanlah semata-mata perjuangan manusiawi, melainkan kehendak dan anugerah Allah yang mahakuasa.Dalam hali ini, eksistensi agama menjadi penting dalam membangun semangat dasar religiositas bangsa.

Selanjutnya, pengalamaniman ini menjadi landasan bagi setiap orang untuk memahami tugasnya, yaitu membangun kemanusiaan yang adil dan beradab, membangun partisipasi setiap warga (permufakatan) demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Pengalaman iman (sila pertama) menggerakan kepekaan kita akan nilai-nilai kemanusiaan (sila kedua), dan menyuburkan pengalaman-pengalaman sosial lainnya, seperti pengalaman kesatuan sebagai sebuah bangsa yang melampaui segala perbadaan suku, etnis, ras, maupun agama (sila ketiga). Kesatuan dan kebersamaan ini kemudian menyediakan ruang bagi setiap orang untuk berpartisipasi aktif dalam usaha bersama yang dikenal dalam bingkai demokrasi kerakyatan (sila keempat) demi memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima).

Pancasila bukanlah sekadaragama kolektifbangsa Indonesia (civil religion). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa agama cenderung bersifat institusional-normatif, yurids-dogmatis dan kaku. Sedangkan iman bersifat personal, cair dan lebih sebagai sebuah spirit dan cara pandang dalam hidup (the way of life).Karena itu, Pancasila tidak boleh dipandang sebagai sebuah dogma atau hukum yang kaku.Pancasila adalah religiositas, iman, jiwa, (civil faith) pandangan hidup yang menggerakan segenap langkah laku rakyat Indonesia. Kenyataan bahwa Pancasila belum menjadi titik final yang menyelesaikan berbagai konflik antar golongan lebih disebakan karena proses internalisasi yang seringkali mandek karena sikap fanatisme sempit dan ekslusivisme yang radikal. Dalam konteks pembicaraan ini, yang berhubungan dengan memoria passionis bangsa dan melibatkan agama, penghayatan akan nilai-nilai eksistensial Pancasila sebagai civil faith bangsa Indonesia harus diawali dengan upaya rekonsiliasi atas memoria passionis yang melibatkan agama-agama ini.

3.Rekonsiliasi : Dialog Kritis Reflektif dengan Memoria Passionis

Rekonsiliasi adalah upaya mencairkan ketegangan-ketegangan yang timbul akibat konflik demi terciptanya perdamaian. Proses ini melibatkan upaya penyingkapan kebenaran dan penegakan keadilan. Rekonsiliasi tidak bisa jalan tanpa upaya penyingkapan kebenaran dan penegakan keadilan.Sebaliknya, kebenaran dan keadilan memiliki makna yang mendalam ketika dilanjutkan dengan upaya rekonsiliatif.Penyingkapan kebenaran dan penegakan keadilan bukanlah saat untuk menaruh dendam, tetapi untuk menampilkan keluhuran harkat dan martabat manusia.Rekonsiliasi bukanlah sekadar upaya rujuk rukun atau rehabilitasi.Rekonsiliasi meminta dasar dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.Rekonsiliasi adalah upaya pengintegrasian keluhuran martabat, harkat dan identitas kebangsaan. Tanpa penyingkapan kebenaran dan penegakan keadilan, dendam para korban atau oknum-oknum yang terlibat konflik akan membabi buta.

Upaya penyingkapan kebenaran dan penegakan keadilan akan selalu menyentuh luka-luka masa lalu. Peran sikap iman diperlukan untuk mencairkan tegangan-tegangan psikologis.Terhadap memoria passionis, sikap iman yang dewasa adalah memaafkan (to forgive) dan melupakan (to forget). Memaafkan (forgiving) tidak serta-merta timbul atas dasar pengetahuan akan kebenaran dan rasa puas yang ditimbulkan karena penegakan keadilan. Bagi P.Ricoeur, iman melamapaui politik maupun proses yudisial.Pemaafan dikondisikan oleh kesadaran iman.Pemaafan adalah tindakan yang melampaui politik dan proses-proses yudisial. Selain itu, tindakan pemaafan harus selalu beriringan dengan aktivitas melupakan (forget). Tindakan melupakan disini memiliki arti konsrtruktif, maksudnya tindakan melupakan mengundang kita untuk tidak hanya mengkopi peristiwa-peristiwa besar masa lalu, tetapi juga kreatif menafsirkan mereka.Tindakan melupakan yang konstruktif mengundang para korban untuk memaafkan para pelaku yanb membuat mereka menderita.Perlu diingat bahwa hubungan korban dan pelaku kejahatan adalah dissymetri.Pengampunan bukanlah pertukaran antara korban dan pelaku kejahatan.Pengampunan adalah sebuah pemberian gratis. P. Riceour menyebutnya sebagai “eskatologi representasi masa lalu”.Selain itu yang dilupakan oleh pengampunan bukanlah fakta kejahatan yang dialami melainkan utang dari pihak yang bersalah.Fakta kejahatan tidak pernah berubah.Yang berubah adalah pemaknaanya yang lebih positf dan konstruktif.Lebih dari pada itu pengampunan memiliki kemampuan menyembuhkan baik bagi koban maupun pelaku kejahatan.

Bangsa yang mau belajar dari sejarah tanpa terkungkung dari pengalaman traumatik masa lampau adalah bangsa yang berani memandang kenyataan masa kini dan di sini (yang memperhatinkan). Namun tetap memiliki harapan akan perubahaan dan kemajuan. Sejarah masa lampau dan masa kini dipandang kesadaran dan keterbukaan yang kritis sambil tetap awas akan gerak sejarah masa depan. Dalam proses pembangunan bersama sebagai bangsa, kita memang tidak pernah lepas dari urusan-urusan empiris pragmatis dan urusan-urusan utopis akan perbaikan. Kita masih perlu belajar menjadi bangsa yang beriman.Peran agama dan eksistensi pancasila menjadi urgen.Agama harus kembali melihat dirinya sebagai institusi yang berfungsi mengintegrasikan semua pengalaman penderitaan menjadi pengalaman religiositas yang membuahkan sikap iman yang hidup. Sedangkan Pancasila menjadi penting karena bersumber dari kedalaman pengalaman religiositas bangsa dan selanjutnya membentuk kesadaran akan identitas diri dan jiwa bangsa saat ini dan di masayang akan datang.

3.1.Rekonsiliasi dalam Tubuh Agama

Rekonsiliasi dalam tubuh agama harus ditandai dengan sikap dan tindakan berikut.

·Agama-agama perlu merefleksikan lagi jati dirinya dalam bingkai refleksi psikologis terhadap memoria passionis. Penyembuhan luka-luka batin yang dialami dalam tubuh agama mutlak diperlukan, kendati dalam hal tertentu luka-luka itu sulit disembuhkan karena sangat menyentuh aspek dogmatis-fundamental. Refleksi yang terus menerus diharapkan bisa menjadikan agama semakin terbuka dengan realitas kekinian dan senantiasa membaharui dirinya sesuai dengan perubahan zaman, yang ditandai dengan diferensiasi dan spesialisasi bidang-bidang kehidupan.

·Agama perlu menyadari kembali perannya dalam hal pembentukan religiositas manusia.

·Agama perlu menentukan dengan tegas ruang geraknya, terutama dalam kaitannya dengan tata penyelenggaraan Negara

·Agama-agama perlu melakukan dialog. Pertama dalam tingkat ziarah kebenaran teologis dalam arti dilemma antara kemutlakan kebenaran nilai normative tiap agama sebagai sumber motivasi dan pengesah perilaku umat dan relatifnya kebenarannya itu dalam cakrawala Allah sendiri. Kedua, dataran dialog kehidupan bersama, amat tergantung pada persepsi mengenai siapakah sesama manusia itu, pada tafsiran etos hidup bersama yang disumberkan keabsahannya dari kitab suci agama dan tradisi masing-masing. Ketiga, dalam hal psikologi kolektif, atau ruang sensitif mengenai SARA yang sering dijadikan kendaraan politis (dikambinghitamkan)dan berpotensi melahirkan konflik.

Selain itu, fungsi lain agama adalah mengkritisi tatanan sosial yang ada, khususnya tatanan sosial yang diskrimiatif. Secara profetis, agama seharusnya melawan praktek-praktek ketidakadilan sosial dan segala sesuatu yang merendahkan martabat manusia. Dengan klaim-klaim kebenaran yang melampaui batas suku, etnis, bangsa, agama memiliki dasar-dasar religius kultural untuk mengembangkan kemanusiaan dan di lain pihak mengadakan perlawanan terhadap realitas moral sosial yang tidak adil, dehuman dan diskriminatif.

3.2.Pancasila Menjiwai Rekonsiliasi Bangsa

Pertama.Pancasila sebagi jiwa bangsa Indonesia memiliki dimensi kritis profetis. Dengan dimensi kritis profetisnya, nilai-nilai Pancasila mengubah realitas saat ini dan memberi arah bagi transformasi bagi masa yang akan datang. Pancasila menjadi iman kolektif bangsa yang bias mengantisipasi pendangkalan religiositas yang diakibatkan oleh konflik antar agama dan berbagai tindak kekerasan serta kejahatan struktural.

Kedua.Semangat religiositas yang dibangun pancasila juga menjadi semangat untuk memerangi mentalitas individualis, materialistis, konsumeris dan hedonis yang timbul akibat peruubahan zaman dan berpotensi merusak semangat humanitarianisme, manusia beradab, manusia yang memiliki integritas dalam kehidupan berbangsa.

Ketiga.Persatuan kita sebagai bangsa Indonesia yang berdaulat selalu rentan oleh orientasi primodialisme dan sectarian.Kesatuan geografis, politis, dan psikologis bangsa Indonesia begitu rapuh karena ketidakberdayaan kita mengatasi kepentingan-kepentingan sempit ini.Yang diinginkan dalam sila persatuan ini adalah tidak ada lagi orang yang dipinggirkan dan dialienasikan.Religiositas sila ketiga memproyeksikan wawasan Nusantara, nation brotherhood and sisterhood.Di sini kesadaran kolektif bangsa Indonesia akan pluralitas dibangun.

Keempat.Semangat yang dibangun sila keempat menentang bentuk kepemimpinan yang selama ini dimainkan oleh elite politik, fanatisme kelompok fundamentalis agama yang mencoba memaksakan ideologi dan kepemimpinanya.Sila ini menjunjung tinggi kepemimpinan partisipatif dan dialogal.

Kelima.Pemerataan kesejahteraan merupakan konsekuensi langsung dari penghayatan religiositas keempat sila yang terdahulu.Indonesia adalah milik seluruh bangsa tidak melulu suatu golongan, apalagi golongan agama.

Sebagai jiwa dan religiositas bangsa, Pancasila adalah pemberi dan pembentuk identitas bangsa.Ia menjadi iman kolektif yang berfungsi mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan dan mempersatukan segala unsur kepribadian manusia Indonesia. Inilah fondasi konstruksi mental bangsa Indonesia yang merupakan buah dari refleksi akanmemoria passionis bangsa dan menjadi acuan sikap hidup di masa kini dan masa depan.

4.Kesimpulan

Memoria passionis adalah sesuatu yang eksistensial dalam tubuh bangsa Indonesia. Agama di satu sisi menjadi pembentuk religiositas bangsa, tetapi di sisi lain turut terlibat dalam memnciptakan memoria passionis bangsa. Pancasilabersumber dari religiositas para pendiri bangsa dan memiliki akar pada agama-agama, telah diciptakan sedemikian rupa sehingga idealnya mampu mengatasi berbagai perbedaan suku, etnis, ras, agama dan golongan untuk membangun jiwa bangsa Indonesia.Pancasila lebih dilihat sebagai sikap iman kolektif bangsa Indonesia dari pada ideologi yang kaku. Karena itu upaya rekonsiliasi seyogyanya adalah proses dialog dan refleksi terus menerus terhadap memoria passionis dalam terang iman. Pembentukan identitas kebangsaan harus dimulai degan reformasi religiositas baik dalam tubuh agama maupun dalam tubuh bangsa Indonesia berdasarkan semangat Pancasila.

Bdk. Peter Dale Scott.CIA dan Penggulingan Soekarno. Lembaga Analisa Informasi. Yogyakarta. 1999.

Dalamsubtema ini agama lebih dilihat dan dijelaskan dari sudut pandang sosial-fungsional serta psikologisnya.

Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama.Yogyakarta : Kanisius. 1983., hlm 31

Raymundus I Made Sudhiarsa, SVD. Iman sebagai Siasat Rekonsiliasi., dalam Seri Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. Vol XIII-Seri 12, 2004., hlm 146.

Bdk. Sudhiarsa, Raymundus. Membangun Peradaban dengan Religiositas Anti Kekerasan, dalam Psikoislamika : Jurnal Psikologi dan Keislaman Vol. I/N0.2/Juli 2004, hlm.39.

Sutrisno, Mudji SJ. Agama : Wajah Cerah Wajah Pecah. Jakarta : Obor 1998., hlm 21.

G. W. Allport, The Individual and His Religion., dalam Diester, Nico Syukur. Psikologi Agama. Yogyakarta : Kanisius., hlm 95

Ibid.

S. Rekosusilo, CM. Agama dan Rekonsiliasi., dalam Seri Filsafat Teologi STFT Widya Sasana-Malang. Vol XIII-Seri 2., hlm 32.

Bdk. Laurensius Sutardi, Pr. Teolog Bilang :Memoria Passionis Itu Berbahaya., dalam Seri Filsafat Teologi STFT Widya Sasana-Malang. Vol XIII-Seri 2., hlm 7.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun