Mohon tunggu...
Nadiyah Munisah Hamelia
Nadiyah Munisah Hamelia Mohon Tunggu... Freelancer - Collegian

Seorang mahasiswi yang masih belajar untuk menulis. Silah koreksi dan mulai berdiskusi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

CyberWarfare dan Perang Generasi Kelima dalam Perspektif Hubungan Internasional

29 Oktober 2019   19:43 Diperbarui: 29 Oktober 2019   19:54 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dari Zdnet.com

Perang siber merupakan perang generasi kelima, yang mana ia tidak menggunakan senjata konvensional melainkan pengunaan jaringan dan teknologi tertentu. Menurut pernyataan Letkol TNI Angkatan Laut, Edy Heriyanto dikutip dari Aktual.com dalam sambutan Malam Keakraban Bhakersa 2015, bahwa perang generasi kelima merupakan perang yang tidak terlihat bentuknya secara fisik, yang mana ketika kita merujuk pada bentuk perang siber sendiri sangat cocok spesifikasinya.

Perang siber dalam beberapa jurnal dituliskan dapat mengganggu kedaulatan negara dan perlunya ada peningkatan keamanan siber nasional tiap negara dalam penanganannya. Dalam press release yang dikeluarkan oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Republik Indonesia menyatakan bahwa ancaman militer mendayagunakan tekonologi informasi dapat mengancam ketahanan dan keamanan negara.

Perang Hybrid yang menggunakan strategi kekuatan konvensional dan siber kekuatannya lebih besar karena menggabungkan kedua hal tersebut. Di Indonesia sendiri, menurut laporan yang diterima dari  monitoring ID-SIRTII BSSN serangan siber pada bulan Januari sampai dengan Juni 2018 berjumlah 143,4 juta.

Kejahatan siber dikategorikan kedalam kejahatan transnasional yang mana ia tidak mengenal batasan negara dalam pengoperasiannya. Bahkan ia melibatkan dua aktor negara atau lebih.

Maka kejahatan ini dapat dikategorikan kedalam kejahatan tingkat tinggi menurut Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. Yang mana seperti yang telah dibahas, karena ia merupakan kejahatan yang menjadi ancaman serius bagi suatu negara dan kemaslahatan global.

Dalam illustrasi yang diterbitkan kemlu yang berbentuk segitiga, bahwa High-Tech Crimes dikategorikan kejahatan tinggi, karena ia dapat meretas data, mencuri identitas, dan membobol privasi yang tentu sangat berbahaya.

Dalam hal ini, dibutuhkan suatu konvensi dan kesepakatan yang merangkul negara-negara dalam menanggulangi kejahatan ini. Karena aktor yang bekerja dalam kejahatan transnasional sendiri tentu masih dilindungi oleh hukum negara.

Banyaknya kasus kejahatan siber akhir-akhir ini, membuat konvensi yang mengatur kejahatan sangat penting untuk muncul. Contoh kasus yang sangat berbahaya adalah yang terjadi pada Iran dan Estonia. Kelumpuhan yang dialami akibat kekuatan kejahatan siber ini tentu sangat merugikan.

Yang terjadi di Iran sendiri merupakan serangan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat yang diduga telah melumpuhkan sistem komputer yang mengendalikan peluncur roket dan rudal Iran. Serangan yang dilancarkan oleh Amerika tersebut ditujukan pada sistem senjata oleh Korps Pengawal Revolusi Iran.

Sedangkan serangan siber yang dialami oleh Estonia pada tahun 2007 dan menargetkan peretasan web organisasi Estonia, termasuk parlemen, bank, kementrian, koran, dan penyiar. Serangan ini dilancarkan oleh Rusia mengenai relokasi oatung Tentara Perunggu Tallinn.

Hal ini berhasil melumpuhkan Estonia dalam beberapa hari. Akibatnya, sistem dan infrastruktur Estonia lumpuh. Sejak saat itu, disebutkan bahwa Rusia menjadi lebih berani memasukkan serangan siber kedalam strategi perang mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun