Mohon tunggu...
Junaedi Ham
Junaedi Ham Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis

Bekerja di Balang Institute Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humor

Ketika Politik Tidak Mengenal Kata "Tidak"

3 November 2018   06:59 Diperbarui: 3 November 2018   12:43 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar 41 coretan bergelombang dengan warna yang berbeda/Dokumentasi pribadi

Catatan ini terlahir sama dengan yang lain, hadir mengisi tiap lembar ruang-ruang kosong jejak kaki perjalanan.

Politik saya artikan sebagai simbol yang mengatur dan membentuk pola dari biasa menjadi terbiasa. Terulang dan terus mengakar. Kebiasaan ini adalah pola lama yang terjadi di waktu yang berbeda. Kebiasaan lama, terbelakang, kolot, dan tidak berkemajuan. Saya juga membacanya sebagai bentuk kesalahan karena gagal memahami kondisi yang sebenarnya.

Praktik politik tidak mengenal kata "tidak" memang sedang berlaku dan berlansung. Aneh namun tidak terlihat luar biasa.
Kesalahan memang sangat manusiawi, toh kita bukan mahluk sempurna. Tetapi akan fatal jika kesalahan tidak lagi menjadi batasan moral. Seribu cara mencari langkah untuk pembenaran tidak sama dengan mencari satu langkah untuk perbaikan.

Nasib rakyat memang sedang dipermainkan melalui pola paham dan adat lama. Pola inilah yang harus dilawan dan dihancurkan.
Sebenarnya tidak mesti merangkai kata seindah mungkin. Mesti pengetahuan kita memang mengajarkan hanya sampai "bermain mata", yang indah-indah saja, menjadi semacam pasar bahasa, dan kita mesti bersepakat retorika bisa menjadi alat untuk menipu.  

Atas nama pembangunan, rakyat tergusur atau tidak lebih kasar jika disisipkan kata penertiban, penataan, dan lebih keren kata "memacu pertumbuhan ekonomi". konotasi yang buruk jika negara harus bertengkar dengan rakyatnya demi kebutuhan rakyat. Ini adalah fakta yang harus diterima.

Percepatan dan pembangunan adalah cikal bakal penindasan. Sementara pengetahuan tetap terbelakang demi terpenuhinya kebutuhan pasar. Didik tidak lagi menjadi alat untuk mendeteksi hak yang paling mendasar pada sisi kemanusiaan. Ketika buruh "tidak" harus dilihat keberlanjutan hidupnya untuk diPHK atau bahkan harus dieksekusi mati layiknya yang dialami Tuti Tursilawati, ketika  Petani tidak harus dilihat kehilangan tumpuan hidupnya untuk dirampas tanahnya.

2019 menjadi angka yang sangat populer diperbincangkan saat ini. Apa saja, kapan , dan di mana saja, bisa-bisa saja dikaitkan dengan 2019. Mulai dari ganti Ban Sereb hingga Ganti Presiden. Bakar ban, dan yang masih hangat dari pembakaran adalah Bakar Bendera. Ini meng"arti"kan kita sangat rapuh untuk tidak mudah terjebak pada situasi yang bukan kepentingan bersama(rakyat).

Tetapi ini hanyalah sebuah catatan biasa yang sering kepoin berita. Kecuali kita bersepakat bahwa catatan saya lebih berkualitas dibanding ribuan berita hoaks per hari dicipta untuk mengadu DOMBA dengan MANUSIA untuk kepentingan 2019.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun