Tidak sengaja bertemu dengan Budi Dharma, selain dikenal sebagai dosen di perguruan tinggi negeri di Bandung yang gemar memasak ini juga pernah menjadi akademisi pada salah satu direktorat di departemen yang mengurusi pendidikan ini. Beliau juga adik salah seorang mantan dirjen. Pertemuan ini memunculkan perbincangan yang mengalir lancar dan ‘berbobot’ mengenai pendidikan, lebih dari sekedar membuang waktu menunggu magrib. Bincang bebas ini diawali seputar almamater yang terletak di Ganesha Sepuluh dilanjutkan praktek pendidikan di tanah air yang merujuk Cina untuk pendidikan formal di sekolah dan Turki untuk penyelenggaran PNF. [caption id="attachment_137433" align="alignright" width="300" caption="Suasana Kelas di Sekolah Cina (Dok. Pribadi)"][/caption] Pertama kami menyoroti etos kerja penduduk Cina yang dibiasakan sejak mengikuti pendidikan formal di sekolah. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah melalui Kemendiknas menekankan penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan nasional. Topik ini muncul mengingat kesamaan kami berdua yang pernah muhibah ke daratan Cina meski dalam kurun waktu berbeda. Proses belajar mengajar pendidikan formal sekolah terutama jenjang pendidikan dasar di Cina hampir dilaksanakan hanpir sehari penuh. Bandingkan dengan penyelenggaraan pesantren atau sekolah plus yang menerapkan pola ‘boarding school’. Jam belajar sekolah di Cina mulai dalam tiga sesi: pagi, siang dan malam. Sesi pagi dimulai jam 8 pagi hingga jam 12 sebelum istirahat makan siang selama satu jam. Sesi siang dilaksanakan jam 13 sampai dengan jam 15.00 sebelum istirahat petang hari. Sesi ketiga, dimulai setelah makan malam, yakni jam 19.00 hingga jam 23.00. Perbedaan dari ketiga sesi tersebut adalah telatak pada peran guru dalam mendampingi kegiatan belajar peserta didik. Sesi pagi dan siang, biasanya menempatkan peran pendidik dan peserta didik di kelas pada saat yang sama. Namun untuk sesi malam, peserta didik melaksanakan kegiatan belajar mandiri termasuk menyelesaikan tugas yang diberikan, mulai dari membaca, merangkum hingga menulis rangkum buku. Hingga pembincangan kami berakhir menjelang magrib, kami berdua belum menemukan jawaban, mengapa sekian lama ‘jam belajar’ peserta didik di Cina, tidak satu pun memberikan materi pelajaran agama, berbeda dengan praktek pendidikan di tanah air. Di lain pihak, kami pun menenggarai budaya dan etos kerja masyarakat Cina ini merupakan imbas pembiasaan yang dilakukan selama berada di sekolah dan berlanjut dalam suasana di masyarakat.