Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Deregulasi Perbankan dan Praktek Rent-Seeking Para Tikus Orde Baru

4 Juni 2011   03:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 3226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deregulasi Perbankan dan Praktek Rent-Seeking Para Tikus Orde Baru

Oleh : Dzulfian Syafrian (0806464242)

dapat diunduh di:

http://www.4shared.com/document/KWPJ6pp1/Deregulasi_Perbankan_dan_Prakt.html

Pasca runtuhnya Rezim Orde Lama (orla), perekonomian Indonesia dihadapkan pada keadaan ekonomi yang sangat parah. Tercatat pada dekade 1960-an, ekspor menurun, cadangan mata uang asing mendekati nol (1965), dan inflasi melonjak ke level lebih dari 600 persen (1966). Indikator-indikator ekonomi ini kemudian mampu diperbaiki oleh Rezim Orde Baru (orba) menjadi jauh lebih baik. Pada periode 1968-1981, Pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat di atas 7 persen per tahunnya.[1]

Tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca runtuhnya orla hingga awal 1980-an salah satunya disebakan oleh meningkatnya nilai ekspor Indonesia terutama karena terjadinya oil boom pada tahun 1970-an. Harga minyak dunia saat itu melonjak sangat tinggi dari 3,75 USD (April 1973) menjadi 10,80 USD (Januari 1974). Selain itu, harga komoditas non migas terutama kayu menyebabkan total ekpor Indonesia meningkat dari 3.306.014 USD (1973) menjadi 7.303.002 USD (1974) atau meningkat 121,02 persen. Keadaan ekspor yang menguntungkan ini menyebabkan peningkatan penerimaan dalam negeri Pemerintah terutama dalam migas dan juga meningkatkan cadangan devisa. Peningkatan penerimaan Pemerintah dari sektor migas meningkat dari 382,2 milyar rupiah (39,50%) pada tahun 1973/1974 menjadi 957,2 milyar rupiah (54,58%) pada tahun 1974/1975. Cadangan devisa bersih juga naik sebesar 88,08 persen dari 782,8 juta USD (1973) menjadi 1.472,3 juta USD (1974).[2]

Keadaan menguntungkan ini tidak berlangsung lama karena sejak akhir 1981 terjadi perubahan dalam perkembangan neraca pembayaran Indonesia terutama disebabkan oleh resesi ekonomi dunia dan penurunan harga minyak bumi di pasaran internasional. Resesi ekonomi yang melanda dunia sejak awal 1980-an merupakan resesi terburuk yang pernah terjadi setelah Great Depression tahun 1930-an. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya angka pertumbuhan ekonomi negara-negara industri dari 5,1 persen per tahun (1960-an) turun ke level 0,2 persen pada tahun 1982. [3]

Menurut data dari Bank Indonesia, Hingga akhir Maret 1983 ekspor Indonesia 79,11 persen berasal dari migas dan 64,16 persen pendapatan negara berasal dari pajak migas. Artinya, struktur perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada migas, suatu kondisi yang rentan jika terjadi penurunan harga minyak dunia. Selain itu, terjadinya resesi dunia pada dekade 1980-an mendorong Pemerintah Indonesia untuk berpikir keras untuk mendorong perekonomian selain dari sektor migas. Untuk mendorong perekonomian, Pemerintah memiliki strategi baru. Strategi tersebut adalah mendorong sektor privat untuk lebih berkontribusi dalam perekonomian. Salah satu cara untuk mendorong sektor privat lebih produktif adalah dengan melakukan deregulasi perbankan.

Deregulasi Perbankan

Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian.

Kebijakan deregulasi perbankan ini kemudian terus terjadi dengan rangkaian kebijakan-kebijakan lainnya. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.(Sumber: www.bi.go.id)

Tabel 1. Rangkaian Kebijakan Deregulasi Perbankan

Periode/Tahun

Kebijakan

1983

Awal mula deregulasi perbankan. Dikeluarkannya Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun 83).

1988

Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) dikeluarkan oleh Pemerintah.

1991

Paket Kebijakan Februari 1991 dikeluarkan oleh BI.

1992

UU Perbankan disahkan, menggantikan UU No. 14/1967.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun