Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Capital Flows dan Capital Controls: Apa yang Harus Indonesia Lakukan?

4 Juni 2011   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 6062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Capital Flows dan Capital Controls: Apa yang Harus Indonesia Lakukan?

Oleh : Dzulfian Syafrian (Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa FEUI 2011)

dapat diunduh di:

http://www.4shared.com/document/UGfAt2CB/Capital_Flows_dan_Capital_Cont.html

BAB I

PENDAHULUAN

Dampak krisis finansial global masih saja terasa hingga saat ini. Hampir seluruh negara-negara di dunia kolaps lantaran diserang badai krisis finansial yang dimulai dari krisis subprime morgage di Amerika Serikat. Krisis di Amerika kemudian menjalar hampir ke seluruh dunia. Krisis finansial global menjelma menjadi krisis ekonomi yang menyebabkan dunia mengalami krisis terbesar setelah Great Depression pada dekade 1930-an.

Semenjak terjadinya krisis pada tahun 2008, hanya beberapa negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif. Salah satunya adalah Indonesia, bersama dengan India dan China. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, Pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir 2008 sekitar 6,0 persen, kemudian turun menjadi 4,6 pada tahun 2009, dan kemudian mulai merangkak naik pada tahun 2010 menjadi 6,1 persen. Kuatnya perekonomian domestik Indonesia karena ditopang oleh sektor konsumsi membuat Indonesia dapat bertahan dari badai krisis finansial global.

Di sisi lain, perekonomian negara-negara di dunia mengalami resesi pasca 2008. Pada tahun 2009, hapir sebagian besar negara-negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang minus. Amerika Serikat -2,6 persen, Inggris -4,9 persen, kawasan Eropa Tenga dan Timur -3,6 persen, bahkan Jepang mencapai -6,3 persen. Di sisi lain, Indonesia tetap tumbuh dengan meyakinkan di level 4,5 persen (Laporan Tahunan Bank Indonesia).

Tumbuhnya perekonomian Indonesia di tengah krisis, ditambah menurunnya performa perekonomian sebagian besar negara-negara di dunia membuat Indonesia menjadi salah satu incaran para investor global untuk menanamkan modalnya. Alhasil, derasnya laju capital inflow di Indonesia adalah fakta konsekuensi yang harus diterima Indonesia akibat perekonomian Indonesia yang cukup menjanjikan dibandingkan sebagian besar negara-negara lain di dunia.

Dampak nyata dari derasnya modal asing masuk ke Indonesia adalah terus menguatnya rupiah terhadap dollar. Menurut laporan Triwulan I tahun 2011 BI, tercatat nilai tukar rupiah bergerak menguat sepanjang triwulan I 2011. Selama triwulan I 2011, rata-rata nilai tukar rupiah terapresiasi sebesar 0,8% ke level Rp8.897 per dolar AS. Pada akhir triwulan I 2011, rupiah ditutup pada level Rp8.708 per dolar AS, menguat 3,5% (ptp) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penguatan tersebut diikuti oleh meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di triwulan I 2011 menjadi 0,35%, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 0,2%.

Pertanyaannya sekarang adalah apa yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia? Apakah Bank Indonesia harus mengontrol laju arus modal asing ke Indonesia atau sebaliknya? Apa saja manfaat dan biaya dari besarnya arus modal asing ini? Bagaimana pengalaman negara-negara lain dalam menangani capital flows? Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba dijawab pada makalah kali ini.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Prakondisi Penerapan Liberalisasi Capital Account

Wihlborg dan Dezseri (1999)[1] mengutip dari beberapa ahli seperti Hanson (1995), Rojas-Suarez (1992), dan Williamson (1992) menyebutkan ada beberapa prakondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu negara sebelum membuka capital account mereka. Prakondisi-prakondisi tersebut adalah:

1.Kondisi makroekonomi yang stabil.

Definisi kondisi makroekonomi yang stabil di sini adalah stabilnya inflasi (Hanson, 1995) atau kecilnya perbedaan antara kondisi pasar keuangan domestik relatif terhadap pasar keuangan dunia, harga dan tingkah upah yang fleksibel (Rojas-Suarez, 1992).

2.Ditiadakannya kontrol keuangan domestik pada suku bunga dan alokasi portfolio (Hanson, 1995). Restrukturisasi dan rekapitalisasi institusi keuangan (Rojas-Suarez, 1992).

3.Williamson (1992)berpendapat bahwa sebuah negara harus melakukan liberalisasi perdagangan (current account) terlebih dahulu sebelum melakukan liberalisasi sektor keuangan (capital account).

4.Disiplin fiskal yang baik(Rojas-Suarez 1992 dan Williamson 1992).

5.Kepastian hukum atau kebijakan yang permanen atau tidak cepat berubah (Hanson, 1995).

6.Kemapuan untuk mengelola permintaan melalui fleksibilitas fiskal (Hanson, 1995).

2.2Mitos-mitos Terkait Capital Control

Menurut Magud (2007) setidaknya ada empat mitos buruk terkait dengan capital inflows sehingga otoritas moneter atau Pemerintah harus melakukan capital controls:

1.Ancaman Apresiasi.

Tekanan apresiasi terhadap mata uang domestik. Mata uang domestik akan terus menguat sehingga dapat mengurangi daya saing barang ekpor negara tersebut relatif terhadap negara lain.

2.Ancaman Hot Money.

Derasnya modal masuk hanya bersifat jangka pendek (short term). Dana jangka pendek ini dapat menyebabkan instabilitas ekonomi karena selain dapat membuat nilai mata uang domestik menguat secara cepat, hot money juga dapat menimbulkan instabilitas bahkan krisis pasar keuangan seperti yang terjadi di Asia pada tahun 1997.

3.Ancaman Derasnya Modal Masuk (large inflows).

Derasnya arus modal masuk menuju suatu negara layaknya dua mata pedang. Di satu sisi dinanti, di sisi lain dibenci. Modal masuk dapat menjadi tambahan modal sehingga dapat mendorong kinerja ekonomi lebih besar, namun di sisi lain derasnya modal masuk juga dapat membuat mata uang domestik terapresiasi secara signifikan sehingga dapat mengurangi daya saing ekpor produk domestik.

4.Ancaman Otonomi atau Independensi Otoritas Moneter.

Ketika terjadi fenomena derasnya arus masuk, ada dua opsi yang dapat dilakukan Pemerintah. Pertama, mengorbankan free capital mobility guna mencapai kestabilan nilai mata uang domestik. Kedua, membiarkan mobilitas modal secara bebas, namun mengorbankan nilai mata uang domestik terus terapresiasi.

2.3Monetary Trilemma atau Impossible Trinity

Akhir-akhir ini sering terjadi perdebatan tentang sistem moneter internasional tentang teori Monetary Trilemma atau sering disebut juga dengan impossible trinity. Teori ini mengemukakan bahwa otoritas moneter setempat harus memilih dua dari tiga tujuan kebijakan moneter yang ingin dicapai. Teori ini juga mengatakan bahwa ketiga tujuan tersebut tidak dapat diraih secara simultan. Adapun tiga tujuan moneter tersebut adalah:

1.Fixed exchange rate,

2.monetary independence,

3.free movement of capital).

Gambar 2.1 Monetary Trilemma atau Impossible Trinity Kebijakan Moneter


Sumber :Krugman(2004)


BAB III

PEMBAHASAN

3.1Capital Inflow dan Empat Mitos: Realita Indonesia

Sebagaimana telah kita bahas pada bagian 2.2, Magud (2007) menyebutkan setidaknya ada empat mitos buruk terkait dengan capital inflows sehingga otoritas moneter atau Pemerintah harus melakukan capital controls:

1.Ancaman Apresiasi

Ancaman yang satu ini benar-benar terjadi di Indonesia. Walaupun sempat terjadi depresiasi rupiah hingga melebihi 11.000 pada akhir hingga di awal tahun 2009, setelah itu rupiah terus mengalami apresiasi lantaran laju arus capital inflows yang terus bertambah.Rupiah mulai terus mengalami apresiasi ke level 8000 rupiah yang sebelumnya hanya berkutat pada kisaran di atas 9000 rupiah. Derasnya capital inflows ke Indonesia adalah penyebab utamanya. Grafik 3.1 memperlihatkan bagaimana tren rupiah terus menguat sejak periode Juni 2010 hingga Maret 2011. Pada periode Mei 2010 hingga Juli 2010, rupiah sempat mengalami pelemahan (depresiasi) terhadap dollar. Hal ini tidak berlangsung lama karena sejak bulan Juli hingga detik ini rupiah terus mengalami apresiasi.

Grafik 3.1 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

Sumber : Bank Indonesia

Nilai tukar rupiah bergerak menguat sepanjang triwulan I 2011. Selama triwulan I 2011, rata-rata nilai tukar rupiah terapresiasi sebesar 0,8% ke level Rp8.897 per dolar AS (Grafik 3.1). Pada akhir triwulan I 2011, rupiah ditutup pada level Rp8.708 per dolar AS, menguat 3,5% (ptp) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penguatan tersebut diikuti oleh meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di triwulan I 2011 menjadi 0,35%, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 0,2%.

2.Ancaman Hot Money

Masuknya capital inflows layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi dinanti tetapi di sisi lain dibenci. Hal ini dikarenakan capital inflows jika dimanfaatkan dengan optimal dan terkendali dapat meningkatkan modal perekonomian di Indonesia sehingga dapat mendorong laju perekonomian itu sendiri, namun jika sebaliknya maka capital inflows dapat mengakibatkan ancaman bagi perekonomian Indonesia, khususnya sektor keuangan.

Grafik 3.2 Struktur aliran modal asing

Sumber : Bank Indonesia

Pelajaran tahun 1997 adalah pengalaman berharga bagi Indonesia dalam menyikapi capital inflows. Pada saat itu, Indoneia menjadi salah satu tujuan para investor karena perekonomiannya yang terus berkembang di atas rata-rata sehingga Indonesia pada era tersebut dijuluki sebagai salah satu Asian Miracle. Derasnya arus masuk pada tahun 1997 tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara. Negara-negara seperti Thailanddan Malaysia juga menjadi serbuan capital inflows pada saat itu.

Derasnya capital inflows pada tahun 1997 tersebut kemudian menimbulkan krisis di daerah Asia Timur dan Asia Tenggara. Kasus krisis finansial yang dialami oleh Thailand, Malaysia, dan Filipina adalah contohnya. Ketika itu, para investor tiba-tiba menarik dananya di negara-negara tersebut sehingga terjadi penarikan modal secara tiba-tiba dan masif (large sudden revearsal). Alhasil, negara-negara tersebut kolaps. Belajar dari pengalaman krisis 1997, sudah seharusnya Indonesia berhati-hati dalam mengelola capital inflows yang cukup deras masuk ke Indonesia akhir-akhir ini, khususnya ancaman dari capital inflows yang bersifat hot money.

3.Ancaman large inflows

Ada beberapa dampak negatif dari derasnya aliran masuk modal asing (large inflows), diantaranya yaitu melemahkan daya saing ekspor (karena apresiasi nilai tukar yang melampaui kondisi fundamentalnya), menyebabkan asset price bubble, meningkatkan kerentanan di pasar keuangan, serta meningkatkan tekanan inflasi, dan komplikasi pengelolaan moneter. Untuk menekan atau mencegah berbagai dampak negatif tersebut pihak otoritas negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia, mengambil berbagai kebijakan. Kebijakan yang umum dilakukan adalah melakukan intervensi di pasar valuta asing. Selain itu, beberapa negara juga mengimplementasikan ketentuan makroprudensial, capital control, dan meliberalisasi aliran modal keluar.

4.Ancaman Otonomi atau Indpendensi Otoritas Moneter

Ketertarikan investor global dan para pengambil kebijakan domestik membutuhkan terjadinya interaksi antar mereka. Sebenarnya memungkinkan untuk mewujudkan exhange rate, monetary policy autonomy, dan free capital markets secara bersama-sama. Namun, hal ini tidak akan terjadi ketika ada tendensi suatu kebijakan untuk mencapai salah satu dari trinity ini. Pastilah salah satu harus dikorbankan. Akhir-akhir ini, para pengambil kebijakan moneter lebih memilih monetary policy autonomy daripada mengorbankan kebebasan mobilitas arus modal. Apapun alasannya, capital controls ditunjukkan untuk mengontrol tekanan terhadap nilai tukar, menahan derasnya laju modal asing, dan tentunya mencapai monetary policy autonomy (Magud, 2007).

3.2Costs-Benefits Capital Inflows

Williamson (1997) menyebutkan bahwa wajar jika negara-negara belum siap melakukan atau menunda liberalisasi arus modal asing karena baik masuk (inflows) maupun keluar (outflows) berpotensi menimbulkan instabilitas kondisi di pasar uang. Ketika terjadi arus masuk secara besar-besaran maka tekanan terhadap apresiasi mata uang domestik akan semakin tinggi. Akibatnya, daya saing barang ekspor akan menurun sehingga sulit untuk bersaing di pasar internasional. Menurunnya daya saing barang ekspor ini pada akhirnya dapat menurunkan jumlah volume ekpor itu sendiri sehingga current account juga pasti ikut tergerus. Di sisi lain, jika terjadi shock arus modal keluar secara tiba-tiba (sudden revearsal), hal ini akan mendorong suku bunga domestik menjadi tinggi sehingga mengancam sebagian besar perusahaan-perusahaan domestik untuk berkembang, bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kebangkrutan.[2]

Di sisi lain, Guitian (1999) mencoba melihat dari sudut pandang pendukung liberalisasi arus modal dunia. Guitian berpendapat bahwa saat ini kebijakan capital controls sudah tidak relevan dan tidak diterima oleh negara-negara dunia karena kebijakan ini hanya mengganggu jalannya perekonomian daripada memfasilitasi perekonomian menuju integrasi dan ekspasi ekonomi yang lebih efektif dan efisien. Guitian juga percaya bahwa dengan memberikan ruang gerak lebih bebas kepada arus modal dapat meningkatkan efisiensi perekonomian, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan.[3]

Respon Emerging Markets

Secara garis besar ada dua jenis kebijakan capital controls, administrative dan market-based policy. Administratif bisa menetapkan kebijakan pegged atau bisa juga melalui kebijakan fiskal, sedangkan kebijakan market-based bisa melalui reserve requirement yang berarti pajak bagi perbankan, penetapan net open position, pengaturan tenor SBI, dan kebijakan makroprudential. Kebijakan yang diambil oleh negara-negara di dunia juga bervariatif tergantung kondisi capital flows di negara mereka masing-masing. Kebijakan capital controls tidak hanya bagaimana mengatur arus modal masuk (capital inflows) tetapi juga mengatur arus modal keluar (capital outflows). Tabel di bawah ini adalah beberapa contoh kebijakan yang diambil oleh otoritas di negara-negara emerging markets untuk mengatur arus modal masuk dan keluar.

Tabel 3.1 Beberapa kebijakan yang diambil oleh Emerging Markets

Negara

Kebijakan yang diambil terkait

Capital inflows

Capital outflows

Cina

-Melakukan sterilized intervention.

-Yuan dibuat lebih fleksibel.

-Menurunkan dan memperketat kuota pinjaman yang dapat diperoleh asing.

-Kebijakan makroprudensial, stress test, dengan mengarahkan capital inflows ke sektor properti.

-GWM dinaikkan menjadi 20% per 25 Maret 2011

-Menaikkan suku bungan +25bps

-Melonggarkan ketentuan investasi di luar negeri (partial liberalization).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun