Mohon tunggu...
Moh DzakyAmrullah
Moh DzakyAmrullah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

kuliah di Stiba Ar Raayah Sukabumi-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Pahlawan Baruku

10 Maret 2021   21:20 Diperbarui: 10 Maret 2021   21:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak kematian ayahku tiga tahn lalu, aku harus menjadi pemuda yang mandiri, lebih dari itu aku harus menjadi pemuda yang siap dan bisa mengurus keluarga. Kepergian ayahku mengharusanku mengurus ibu dan adik-adikku yang masih menginjak sekolah dasar. 

Aku tidak mau keempat adikku harus bekerja di usia yang belum pantas mengurus keluarga dan karena bekerja itu nantinya mereka juga harus kehilangan cita-cita mereka yang katanya akn menjadi pengusaha, biarlah aku yang menanggung beban keluarga dalam hal nafkah, karna aku adalah anak tertua yang notabeninya mempunyai tanggung jawab itu setelah kepergian ayah.

Sejak kecil aku di ajari ayahku supaya menjadi anak yang mandiri, sejak berumur tujuh tahun aku sudah bisa menjahit pakaianku sendiri, walaupun hasilnya tidak seindah tangan-tangan yang sudah berpengalaman, tapi kata ayahku itu lebih bagus daripada harus meminta tolong orang lain kalau kita bisa mengerjakan sendiri.

Lahir sebagai anak petani membuatku sedikit mahir dalam bertani dan berkebun, lahan yang ayah tinggalkan adalah satu-satunya harta milik keluarga kami yang bisa menghidupi keluarga. 

Dengan sedikit bekal dari ayahku, aku menyulap lahan itu menjadi kebun yang dapat menghasilkan panen, mulai dari panen yang bisa aku petik tiap musim dan yang bisa aku petik tiap bulannya atau bahkan bisa aku panen tiap minggunya. 

Selain dari ayah, aku juga belajar lewat internet, aku tidak mau dengan adanya internet itu membuatku menjadi pemuda yang malas, makanya aku memanfaatkannya untuk mencari cara menghasilkan panen yang banyak dalam lahan yang sempit.

Mungkin kedewasaanku itu tidak hanya aku dapatkan dari pengalaman bersama ayah, tapi juga aku dapatkan lewat cerita ibu yang selalu membuatku terkagum. 

Sejak kecil aku sudah mendapat cerita tentang para Sahabat Rasulullah. Yang paling aku ingat adalah sosok Sayyidina Ali radiyallahu 'anhu yang sudah sangat mandiri di usianya yang menurut kebanyakan orang itu belum pantas untuk mengerjakan pekerjaan orang dewasa, namun Sayyidina Ali radiyallahu 'anhu mampu melakukan pekerjaan itu, bahkan beliau menikah pada usia kurang lebih 16 tahun.

Kata ibuku bukan hanya dalam hal nikahnya yang bisa kita contoh dari Sayyidina Ali radiyallahu 'anhu, namun lihatlah dalam usia segitu muda sudah bisa menafkahi orang lain. Kata ibuku juga kalau ukuran kedewasaan itu bukan dari usia, tapi dari kapan kita mencontoh Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, maka di situlah kita akan dewasa.

Pernah aku tanyakan kenapa bukan umur yang menentukan kedewasaan kita dan kenapa ukuran itu adalah ketika kita mengikuti sunnah Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam. 

Kata ibuku, sebab Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam di utus menjadi Nabi pada usia 25 tahun dan jika kita mencontoh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam itu sama saja kita sedang memerankan peran manusia terhebat pada usia 25 tahun. Sebab kata ibuku itu aku selalu berusaha mencontoh Rasulullah Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam dalam menjalani hidup. Dan karna kata ayahku juga mandiri itu adalah sunnah.

Ibuku sering mengingatkanku untuk melanjutkan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun