Mohon tunggu...
Inamu Dzakiyyatul Jamilah
Inamu Dzakiyyatul Jamilah Mohon Tunggu... Lainnya - Fb : Inamu dzakiyyatul jamilah, Instagram :Inamu_99

Mahasiswi "Ngono yo ngono nanging yo ojo ngono"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Pendidikan Keberbakatan

23 Maret 2019   18:07 Diperbarui: 23 Maret 2019   18:24 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tunza Eco-generation Eco-generation

Menengok kembali konferensi Asia Pasifik yang ke-4 tentang keberbakatan, yang pernah digelar di Jakarta tanggal 4-8 Agustus 1996.

Tentunya tema pada konferensi ini menarik yaitu Mengoptimalkan Keunggulan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Dalam hal ini  (Danim 2006) menyatakan bahwasanya praktik pendidikan kita selama ini masih diwarnai oleh kerancuan berfikir, yang mencampur adukkan keunggulan (excellence)  dengan keberbakatan (Giftedness).

Mengapa hal ini dapat dikatakn sebagai kerancuan dalam berfikkir? Karena keunggulan dan keberbakatan ini berbeda secara konsep dan praktisi pengembangannya didunia pendidikan dan pembelajaran.

Yakni, yang pertama keunggulan sebenarnya mengacu kepada kejeniusan, sedangkan keberbakatan itu bisa tunggal dan bisa jamak. Selanjutnya, yang kedua yakni keunggulan dengan mudah berkembang melalui asah otak intelektual, seperti melalui proses pendidikan dan pelatihan; sedangkan keberbakatan itu cenderung berkembang melalui asah otak emosional. Ketiga, secara genetis otak penalaran telah terbentuk sejak lahir, akan tetapi otak emosional sangat ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan memberikan stimulus terhadap otak manusia itu sendiri.

Hal ini yang menjadi sebuah pernyataan yang kurang teat, mengapa? Bahwasanya tafsir praktik pendidikan atas keunggulan dan keberbakatan ini tercermin dalam proses pembelajaran yang cenderung berporos pada pengembangan tunggal yakni mengacu pada prestasi akademik, yang mana hal ini ditandai dengan system pembelajaran yang tidak tersendirikan, praksis pragmatis pendidikan dengan mengejar skor melalui latihan, komunikasi guru murid yang cenderung satu arah. Dan pengorganisasian pembelajaran cenderung hanya mempermudah kerja guru, dan sebagainya.

Asumsi dasarnya adalah makin tinggi intensitas asah otak intelektual, makin tinggi pula keberhsilan pendidikan.

Contoh realnya seperti pelatihan mengerjakan soal, kegiatan bimbingan belajar, les privat dan lain sebagainya yang mana hanya sebagai sebuah aktivitas yang berpusat pada sekedar tahu apa yang dipelajari.

Akhirnya, muncul anak-anak dan generasi muda yang kian cerdas, namun tidak disertai dengan optimalisasi otak emosional.

Mengenai otak emosional ini dapat kita peroleh melalui Akhlak atau budi pekerti dan pembangkitan sifat-sifat humanities dan menjadikan manusia agar memiliki rasa kemanusiaan.

Yang kita lihat, fenomena bertripping ria, tawuran, kekerasan pada remaja-remaja sekolah, perbuatan asusila, dan lain sebagainya, yang akhir-akhir ini merupakan bukti nyata kegagalan asah otak emosional, karena hal itu justru mayoritas yang dilakukan oleh orang-orang tengah atau yang telah menemuh jenjang tertentu.

Kini, pengagungan dinasti otak kecerdasat (IQ) sebagai superioritas tunggal dalam proses pembelajaran sudah berakhir.

Dinasti ini telah berkuasa dalam jagad pendidikan dan pembelajaran selama berabad-abad. Dr Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul Emotional Intellegence, yang mana telah mematahkan mitos otak kecerdasan, dengan sebuah tesisnya bahwa otak kecerdasan itu kurang bermaslahat secara significan dalam kehidupan jika tanpa kehadiran otak emosional (EQ), yakni terutapa dalam interaksi dengan teman dan dalam sebuah ruang pekerjaan.

Paradigma dasarnya yakni, manusia yang berkualitas tinggi adalah mereka yang cerdas dalam penalaran dan cerdas emosional. Bahkan Daniel ini mengestimasi bahwa sukses tidaknya seseorang menjalani proses kemaniusiaan, 80 persen disebabkan oleh EQ dan  20 persen oleh IQ.

Meski Daniel sendiri mengakui hal ini hanya untuk pekerjaan tertentu, hanya pekerja dengan IQ tertentulah yang kecerdasan emosionalnyya dapat berkembang, ia melihat bahwasanya fenomena EQ ini sebagai fenomena sosial, yang mana artinya bahwa masuknya fenomena sosial dalam ranah otak kecerdasan berporos pada lahirnya ranah otak emosional.

Kita lihat pada dunia pendidikan kita, Budaya Keberbakatan

Mengapa ranah keberbakatan peserta didik kurang berkembanng, padahal mereka tergolong cerdas?

Beberapa hari yang lalu ialah jadwal pengumuan seleksi nasional (SNMPTN), apakah sudah menjamin PTN tersebut melahirkan lulusan yang bermutu?

Yang mana, secara fenomenal proses pendidikan dan pembelajaran di PTN/PTS masih menunjukkan adanya hegemoni atas dunia simbolis yang mengandung efek represif terhadap otak emosional mahasiswa, tidak terkecualu dalam mantra keberbakatannya.

Munculnya mahasiswa yang kreatif dan suka adu debat akademik dengan dosen diruang kuliah justru dinilai bersebrangan dengan jagat cultural sopan santun tradisional, yang belum bisa memisahkan mana ruang akademik, mana pula ruang gerak sosial seumumnya. Demikian juga metode ceramah catat tugas, secara satu arah bertentangan dengan nilai sejati kependidikan dimanan, para mahasiswa harus dilatih berekspresi secara dialogis atau studi individual.

Hal yang sama ini juga terjadi dijenjang sekolah dibawahnya, akibatnya pada dunia keberbakatan peserta didik terjerat oleh krangkeng legimitasi kebijakan akademik yang basis kognitif dan afeksinya hanya terbatas membuka kanal terbangunnya otak emosional melalui elaborasi eksrtra hati-hati atas gelombang besar Meinstream wacana system eksternal, sehingga terjadilah perselingkuhan antara hati nurani mereka dengan symbol-simbol yang boleh ditampilkan dipermukaan melalui dialog verbal dan karya tulisnya.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun