Mohon tunggu...
Farizky Aryapradana
Farizky Aryapradana Mohon Tunggu... Freelancer - D.Y.N.A.M.I.N.D

Just follow the flow of my mind.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Olahraga Memantik dan Mengontrol Suara Sebangsa

28 Agustus 2020   19:54 Diperbarui: 29 Agustus 2020   20:01 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
NBAE via GETTY IMAGES/Jesse D. Garrabrant

Penembakan secara brutal kembali terjadi di Amerika Serikat (AS). Seorang warga negara kulit hitam lagi-lagi menjadi sasarannya. Jacob Blake (29), harus mengakhiri perjalanan hidupnya dengan naas. Ia diberondong peluru sebanyak tujuh kali dari belakang.

Mirisnya, aksi biadab ini dilakukan kembali oleh oknum kepolisian di sana. Jacob yang sedang berurusan dengan petugas, dianggap melakukan perlawanan. Hingga akhirnya, sang polisi melepaskan tembakan tujuh kali ke arah punggungnya. 

Videonya kembali tersebar ke seantero dunia. Ini sontak menambah catatan kelam bagi negeri yang katanya, menjunjung tinggi kebebasan sipil.

Tragedi ini akhirnya menimbulkan kemarahan luar biasa di AS. Ribuan warga kembali turun ke jalan - jalan berunjuk rasa. Mereka kembali menyuarakan bahwa di AS, masalah rasisme belum kunjung terselesaikan. Padahal, mereka telah merdeka sebagai bangsa selama ratusan tahun.

Namanya unjuk rasa besar, pastinya memiliki risiko keamanan yang tinggi. Benar saja, unjuk rasa tersebut kemudian diiringi dengan bentrokan dengan petugas keamanan. 

Hal yang kembali mengingatkan kita pada protes di bulan Juni lalu. Di mana kekejaman aparat yang menewaskan seorang warga kulit hitam yang bernama George Floyd, berhasil membakar amarah penduduk kota - kota di sana. 

Kasus ini pun lupanya tak luput dari perhatian para atlet olahraga di sana. Sebagai seorang atlet, mereka tentunya menjadi representasi dari simbol kesetaraan yang terkandung di dalam nilai olahraga. 

Kejadian ini tentunya kembali melukai hati mereka. Hingga akhirnya, mereka kemudian mengeluarkan sebuah sikap yaitu : menolak untuk melakoni pertandingan sebagai bentuk protes terhadap ketidak-adilan dan kebencian yang terus terjadi di tanah Amerika.

Lebih heroiknya, keputusan tersebut disepakati oleh para atlet yang terlibat di dalam kompetisi - kompetisi olahraga terbesar di AS. Sebut saja misalnya National Basketball Association (NBA), National Hockey League (NHL), Major League Baseball (MLB), dan National Football League (NFL). Empat kompetisi yang menjadi barometer industri olahraga dunia, jika berkiblat pada "Negeri Paman Sam".

Keputusan ini tentunya mengundang pro - kontra di sana. Bagi yang kontra, mereka menganggap tindakan ini kekanak - kanakan dan melecehkan semangat profesionalisme di sana. Tetapi bagi yang pro, ini menunjukan bahwa olahraga selalu memiliki pendirian dan keberpihakan terhadap keadilan dan kesetaraan. Olahraga bukan lah sekadar robot, yang hanya menjalankan pertandingan demi pertandingan untuk kemenangan di atas lapangan. 

Dari sana kita melihat, bagaimana olahraga di sana telah memiliki suara yang dapat menggemakan satu negara, bahkan seluruh dunia. Kini suara satu Amerika didominasi dengan cerita - cerita tentang perlawanan dari aktor lapangan. Lihat saja stasiun televisi, koran, dan media elektronik di AS menjadikan headline dari sikap yang disuarakan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun