“Sampai kapan kamu akan di atas sana? Cepat turun!”
“Tunggu sebentar. Aku masih menikmati indahnya langit malam ini.”
“Apa bedanya malam ini dengan malam yang lain? Cepatlah turun. Lukamu belum sembuh betul. “
“ Kenapa sih kalian selalu lupa mensyukuri nikmat-Nya? Kalau nikmat itu diambil, baru kalian akan menyesal!”
“Kalau lukamu tambah parah jangan merengek padaku lagi.”
“Kapan aku pernah merengek? Manusia ini, diminta tolong sekali langsung merasa diatas. Kamu tahu kan kalau…“
“Ah, sudahlah. Kita sudah tidak punya banyak waktu lagi.”
Sedikit lagi, sedikit lagi semua akan selesai dan hidupku akan kembali normal. Berkali-kali aku mengulang kalimat itu di kepalaku. Tapi entah kenapa selalu saja ada yang mengganjal. Apakah ini benar kemauanku? Sebulan yang lalu pasti aku masih berpikir seperti itu. Tapi setiap melihat “dia” dan pejuang lain dengan senyuman bahagianya membuatku bimbang. Semua ini gara-gara “dia”. Dengan alasan kuasa-Nya “dia” datang dan seenaknya mengubah hidup seseorang. Dan orang beruntung itu tentu saja aku. “Dia” yang rupawan, imortal dan hobi berceramah, Morpheus ‘Sang Dewa Mimpi’.