Liar, begitulah umum menyematkan predikat kepadanya. Boleh jadi akibat tak ada yang menjaga, merawat, Â memiara dan memeliharanya. Dan, dia adalah salah satu dari sekian para liar yang ada di kampungku. Dari sinilah kisah ini bermula ...
Kata liar yang kudengar, yang tertangkap oleh pendengaranku, mulai mengusik mengobsesi pikiranku. Sebab aku selalu berusaha menjadi sang pemerhati terhadap apa saja, pada batas apa yang bisa kupahami terhadap setiap fenomena kehidupan semesta alam yang dirancang bangun oleh Sang Pencipta menurut asas keseimbangan, sistematis, dan logis menurut daya tampung maupun kemampuan berpikirnya manusia sebagai bagian dari alam semesta.Â
Dari situlah aku berpijak di kala mencerna, mengamati, mengkaji, menyimpulkan dengan pembuktian pada setiap fenomena kehidupan alam semesta yang memantul ke diriku, mencecar alam pikiranku.
Bagaimana agar menjadi tak liar? Sebab, liar itu lebih mengarah tentang belum beradab sehingga melahirkan perilaku biadab. Ranah yang sarwa berderajat rendah, negatif. Ketidakteraturan, sembarangan, tiada kepatuhan pada tatanan yang berpedoman standar, dan entah apalagi yang sepadan dengannya, itulah liar.
Saat aku berada di puncak rasa dan pikiran kesal, letih dan lelah menghadapi kebutralan tikus-tikus yang bersarang di rumah yang tak mengenal waktu siang ataupun malam, menjamah dan merusak segala barang-barang kebutuhan rumah tangga, mulai dari peralatan, pakaian, utamanya terhadap persediaan bahan makanan maupun makanan siap saji yang selalu terjadi, sungguh benar aku beserta sang istri kesulitan meredam dan mengatasi.Â
Puluhan tahun fenomena tikus di rumah itu sangat mengganggu kehidupan rumah tanggaku. Mulai dari jebakan tikus, lem tikus, racun tikus kuterapkan sebagai upaya untuk mengenyahkan tikus, mahluk binatang sang pengganggu kenyamanan hidup di rumah. Puluhan tahun jua upayaku itu tak berujung tak berakhir. Pusinglah diriku ...
Seiring dengan itu, diikuti pula fenomena tentang sang kucing liar yang sedikit menggangu jua, meski tak sekental bila disandingkan dengan gaya yang dimainkan oleh sang tikus beserta gerombolannya sebagai binatang jalang pengusik kehidupan rumah tanggaku. Sebab, hanya sesekali saja sang kucing beraksi, ngembat lauk-pauk di saat penghuni rumah pada lengah. Atau, buang kotoran tahi dan pipis di sembarang tempat yang bikin dongkol bagi siapapun jua lantaran wujud dan aroma kotorannya yang amat menyengatkan sang indera pembau. Menjengkelkan, bagi yang tak arif bijaksana manakala menyikapi tingkah polah para binatang di sekeliling dengan segala ragam perilakunya. Namanya juga binatang ...
Dini hari, kira-kira pukul dua, saat lengang menyelimuti suasana alam sekitar, aku dipengaruhi oleh suara, "glodhak, glodhak, glodhak ..." dari arah ruang tamu. "Sepertinya, ada sesuatu yang sedang membentur-bentur daun pintu di ruang tamu," pikirku.
Bergegaslah aku untuk mengakhiri rasa penasaranku atas suara yang datang tiba-tiba itu, saat dini hari lagi. Tak biasanya, koq? Gerangan apakah itu, ya? Segeralah aku menuju ruang tamu, beranjaklah dari kursi dudukku, hela sejenak dalam merampungkan tulisan artikelku. Daripada aku tak fokus lantaran sedikit terusik oleh suara itu.
Kunyalakan lampu di ruang tamu. Byar, terang benderanglah ruang tamu mengikis gelap yang selalu gelap saat memasuki larut malam. Karena hampir tak pernah aku menerima tamu di saat seperti itu. Kecuali, bila tamuku adalah kerabat jauh dari luar kota yang sudah selazimnya kuterima dan kutemui di ruang tamu terlebih dulu.