Mohon tunggu...
Dyah Ayu Agustina
Dyah Ayu Agustina Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Perempuan 24 tahun penyuka kopi tapi bukan penikmat senja. Sedang dalam perjalanan menemukan tujuan hidupnya dengan rajin mengutarakan perasaan dan pikiran dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup Harus Tetap Memiliki Tujuan, Sekalipun Tujuan Tersebut adalah Tidak Memiliki Tujuan

7 Mei 2021   21:25 Diperbarui: 7 Mei 2021   21:35 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aman Shrestha. Unsplash.

Apa yang membuatmu bertahan hidup sampai saat ini? Agaknya kalimat tersebut bisa menjadi titik rasionalitas pada tulisan ini. Sebagai manusia biasa, sebetulnya agak aneh ketika kita tidak memiliki arah akan pergi dan jalan kembali. Bukankah setiap bangun tidur kita selalu membayangkan apa saja yang akan kita lakukan di hari itu?

Tujuan tidak semata-mata dirangkai menjadi satu kesatuan harapan setiap individu. Kehidupan yang berjalan sampai saat ini adalah korelasi antara kerja keras, takdir, harapan yang dimiliki setiap individu. Roda yang menggerakan manusia untuk bekerja keras adalah keinginan untuk berhasil. Berhasil untuk apa? Berhasil mewujudkan keinginannya yang sesuai dengan harapan.

Menapaki usia seperempat abad menjadikan saya sering bergelut dengan pertanyaan "Tujuan hidupmu apa?". Bersyukurlah bagi individu yang juga sedang berada di usia seperempat abad ini dan telah memiliki tujuan hidup. Namun jumlah ini tidak sedikit dibandingkan individu yang tidak memiliki tujuan khusus untuk menjalani hidup.

Bagi sebagian individu, tujuan hidup adalah hal yang sangat penting. Glorifikasi atas cita-cita sedari kecil, misalnya dokter, pilot, dan polisi terkadang melekat sampai dewasa. Harapan ini pun sebetulnya mengambang, ada yang memiliki keuntungan untuk mewujudkannya, ada pula yang harus menyerahkan mimpi tersebut akibat kenyataan hidup lain.

Ketika kecil, para orang tua akan sangat memanjakan anak-anaknya untuk bermimpi setinggi mungkin. Orang tua ini mungkin tidak sadar, bahwa selagi mereka membuka harapan bagi anak-anaknya, baiknya mereka juga harus mempersiapkan anak mereka apabila mimpi-mimpi tersebut gagal di tengah jalan. Orang tua sebaiknya harus memberikan pengertian dan nasihat yang kompleks tentang akibat bagi anak-anaknya kelak ketika mimpi yang diagungkan sewaktu kecil harus tertampar dengan kenyataan hidup lain.

Sepele, namun itulah yang menjadi titik awal bagaimana anak-anak harus memiliki pemahaman tentang melepaskan sesuatu yang diimpikan sejak lama. Karena banyak kasus yang terjadi bahwa ketika individu mencapai usia dewasa dan mimpi kecilnya tidak terwujud, maka dunianya terasa hancur dan tidak berarti lagi. Individu yang gagal atas mimpinya cenderung akan menyalahkan takdir dan dirinya sendiri. Alhasil ia akan kebingungan untuk menata tujuan hidupnya kembali.

Ini pun yang terjadi pada saya. Ketika mimpi yang telah saya rakit sedemikian rupa dari A-Z ternyata harus dipendam karena takdir berkata lain. Saya tidak sadar bahwa rencana jika tidak ada keluasan ridha Tuhan maka akan menjadi bubur yang tidak akan bisa menjadi nasi kembali. Pada titik ini, saya hancur. Saya merasa tidak memiliki tujuan lain untuk hidup karena memang mimpi itulah tujuan hidup saya. Namun keterpurukan ini justru membuat saya berpikir ulang tentang tujuan hidup.

Tujuan hidup ini sebetulnya berbanding lurus dengan tingkat idealisme kita. Semakin tinggi idealisme dalam diri kita, maka tujuan hidupnya akan semakin tinggi pula. Namun ada saatnya di mana idealisme ini harus tunduk pada realita kehidupan yang tidak selalu ideal. Ketika idealisme runtuh, maka tujuan hidup akan runtuh pula. Sulit bagi individu-individu yang tidak memiliki self-esteem untuk menata hidupnya kembali. Karena tujuan hidupnya adalah titik penopang mengapa ia bekerja keras selama ini.

Saya sempat hilang akal tentang apa yang harus saya benahi terlebih dahulu ketika tujuan hidup saya musnah. Kegamangan antara membenahi idealisme saya yang harus diturunkan ataukah tujuan hidup yang harus diubah. Poin yang pertama itu sungguh sulit, karena kepribadian ini sudah dibangun sejak kecil. Poin kedualah yang sepertinya dapat dirakit kembali meski korelasinya sangat erat dengan idealisme saya.

Butuh waktu lama bagi saya untuk menemukan jawaban atas tujuan hidup yang baru ini. Segala upaya mulai dari membaca buku self-improvement, mendengarkan podcast tentang healing, atau berbagi cerita dengan teman-teman seperjuangan maupun yang lebih beruntung dari saya. Dalam hal ini, yang tampaknya telah menikmati hidup entah sesuai dengan tujuan hidupnya atau tidak.

Bukan proses yang mudah, karena saya berlomba dengan waktu dan keadaan yang memaksa harus menggeluti sesuatu yang bukan keinginan. Individu dengan tipe idealis seperti ini memang sulit untuk beradaptasi dengan sesuatu yang di luar zona nyamannya. Meskipun dengan berjalannya waktu akan mulai terbiasa dan memiliki kecenderungan untuk menguasainya. Tetapi bergelut dengan keadaan seperti ini pun membutuhkan waktu tersendiri.

Akhirnya ada pada satu titik di mana saya menyerah dan tidak memiliki semangat untuk menjalani hidup. Di titik ini justru saya lebih bisa berpikir tenang dan berprasangka baik. Saya mengalami kekosongan hati. Hanya duduk diam, tidak berbuat dan berpikir apa-apa.

Namun justru dalam fase inilah saya menemukan jawabannya, yaitu tidak apa-apa jika tujuan hidup saya adalah tidak mengidamkan dan memimpikan apa-apa. Hidup seadanya dengan segala kenikmatan yang diberikan Tuhan. Menjadi pribadi yang bermanfaat walau hanya bisa menyingkirkan batu kerikil di jalan agar tidak mengganggu perjalanan orang lain.

Tujuan hidup itu kini saya pegang untuk bertahan hidup. Wajar ketika kita tersesat dengan jalan takdir yang tidak sesuai dengan harapan kita. Tapi satu yang pasti bahwa sehancur apapun keadaan kita, tetaplah memiliki tujuan hidup. Karena tujuan hidup itulah kompas dalam kehidupan yang mengarahkan kita untuk berbuat dan menentukan apa saja. 

Meskipun kompas tersebut tak tentu arah, namun kita harus memiliki satu kompas yang menjadi pegangan dalam hidup agar tidak tersesat terlalu jauh. Agar nanti ketika ada angin yang bertiup secara tiba-tiba, seketika itu juga kompas tersebut akan mengarahkan kita kepada tujuan yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun