"Kok lo nangis Nya, gue ngucap salah ya sama lo?" ujarnya yang langsung menghapus airmataku karena aku yang tiba tiba menangis.
Tanpa berkata kata lagi, aku langsung memeluk Evan dengan kuat. Aku menangis sejadi jadi, tanpa menghiraukan apa yang dia ucapkan. Ingin rasanya waktu berenti sejenak, membiarkan aku diam duduk disini dengannya. Kalau Evan tak berpacaran dengannya, mungkin ingin aku ucapkan bahwa aku menyukainya. Tak ingin kehilangannya dan selalu ingin dia, ada didekatku.
"Aku capek Van. Aku ga kuat sama semuanya. Ortu yang selalu ribut, adek gue yang sakit, gue yang kalau kerja dikit dikit resign. Selalu dituntut buat bisa semuanya. Gue capek. Gue ga bisa gini terus Van. hiks."
"Gue pengen elu selalu ada buat gue Van, bukan ketika gue mau cerita aja."
"Tapi  sayangnya gue ga bisa, minta lo selalu buat gue. Karena lo udah punya Nadya."
"Bisa Nya, bisa. Gue bakalan ada buat elu sampai kita tua, sampai kita nikah masing masing nanti."
"Tapi gue maunya nikah sama lu Van" ucapku dalam hati.
"Sekarang kalau lo mau nangis, nangis aja. Gue bakalan ada disini sampai lo tenang."
"Kenapa sih, elo baik banget sama gue Van,hiks. Kalau gue suka sama lo gimana?"
Evan yang mendengar itu pun terdiam dan melepaskan pelukanku darinya. Di usapnya rambutku pelan, diusapnya airmataku sampai tak tersisa, memapahku untuk duduk dikursi supaya tidak kelamaan duduk dilantai dan kini dia yang menatapku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan.
"Ga perlu pacaran kan, untuk gue selalu ada dan bisa sama lo."