Bom bunuhdiri lagi. Di Mapolsek Astana Anyar, Bandung, Rabu (7/12). Pelaku Agus Sujatno (34) tinggal di Sukoharjo, Jateng. Pihak DPR RI mengatakan, BNPT kecolongan. Sebaliknya BNPT menjawab:
"Sulit membaca pemikiran pelaku terorisme," kata Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar dalam keterangan pers, Rabu (7/12).
Dilanjut: "Ideologi terorisme dari alam pikiran. Apakah kita bisa serta-merta membaca alam pikiran, isi kepala, semua warga bangsa Indonesia?"
Biasa, gaya Indonesia. Jika sudah terjadi, disusul salah-menyalahkan. Meski dalam bentuk halus, tersamar: "Kecolongan".
Sebaliknya, Densus 88 Anti-teror Polri aktif berjuang melindungi calon korban teroris. Malah dikritik terlalu keras terhadap teroris.
Prof Zachary M. Abuza dalam bukunya "The Rehabilitation of Jemaah Islamiyah Detainees in South East Asia (2008) menuliskan, Indonesia termasuk menganut cara modern dalam pengendalian terorisme. Antara lain, dengan program deradikalisasi.
Abuza adalah guru besar bidang politik dan keamanan Asia Tenggara di National War College, Washington DC, Amerika Serikat. Di bukunya itu ia membanding-bandingkan cara pengendalian terorisme di Asia. Indonesia tergolong maju dibanding Pakistan, Thailand, Malaysia, Singapura. Terkuno Pakistan.
Uraian Abuza di bukunya tentang Indonesia mayoritas sesuai dengan kondisi sebenarnya. Antara lain, pemerintah melibatkan ulama moderat yang aktif memberikan tausiah Islam sesungguhnya, melarang tindak kekerasan, apalagi pembunuhan. Orang yang dibunuh kebanyakan sesama Islam.
Dibandingkan dengan di Pakistan, yang dinilai cenderung membiarkan terorisme. Di sana teroris memang ditangkap, dihukum. Tapi, pemerintah mengabaikan wacana konflik Syiah versus Sunni.
Dinilai, kondisi konflik Syiah-Sunni di Pakistan itu menyuburkan terorisme. Karena dasar terorisme adalah intoleransi, atau membiarkan konflik perbedaan keyakinan beragama. Intoleran meningkat jadi radikalisme. Meningkat lagi jadi teroris.