Mohon tunggu...
Dedi Dwitagama
Dedi Dwitagama Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Pendidik yang bermimpi makin banyak anak negeri yang percaya diri dan berani berkompetisi. Mengajar Matematika di SMKN 50 Jakarta - Blogger sejak 2005: http://dedidwitagama.wordpress.com, http://fotodedi.wordpress.com dan http://trainerkita.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bokis Berterima Kasih pada Virus

26 Juni 2021   13:06 Diperbarui: 26 Juni 2021   13:19 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://news.okezone.com/

Bokis, nama anak muda penduduk negeri paman besut, umurnya 25 tahun tak pernah sekolah, merantau dari kampung halamannya yang berjarak sekitar 300 kilometer setelah hidup susah berkepanjangan. Sejak masih anak-anak ikut membantu orang tuanya di sawah, di kebun dan kerja apa saja yang dilakukan orang tuanya. Menanam padi butuh waktu berbulan-bulan dan setelah panen harga jualnya tak bisa menutupi biaya pembelian pupuk, apalagi membayar lelah atau keringat yang mengalir, beras hasil panen disimpina di gudang rumah untuk dikonsumsi sekeluarga.

Menanam berbagai buah seperti, bawang, cabe, pete atau apa saja selalu berakhir dengan pedih. Saat masa petik tiba sepertinya berbarengan dengan masa paceklik atau harga turun, berbagai hasil tanam sering punya harga seragam, hanya seribu kepeng per kilogram atau seribu kepeng untuk satu buah pete. Padahal di warung dekat rumah Bokis harga pete dijual jauh dari harga itu. Jika keluarganya tak mau menjual dengan harga seribu kepeng, maka hasil tanam akan jadi busuk ... hasil kerja keras ayah, ibu dan Bokis hampir selalu berakhir dengan kepedihan.

Saat malam tiba, Bokis beristirahat menjelang tidur menonton tayangan televisi. Dia terpesona dengan gaya hidup orang kota yang terlihat sangat nyaman hidup di gedung-gedung tinggi yang mewah dengan pemandangan ibukota yang megah, menyantap makanan yang terlihat sangat nikmat. Suasana jalan raya ibukota yang selalu macet penuh dengan kendaraan yang tampak nyaman. Bokis mendengar cerita dari tetangga-tetangga di kampungnya yang mudik saat hari raya, bahwa mencari uang di ibukota sangat mudah.

Sejak tiga tahun yang lalu Bokis membulatkan tekad merantau ke ibukota negeri paman besut mengikuti salah satu tetangganya di kampung yang ternyata menjadi pemulung barang-barang bekas di ibukota. Bokis mengawali hidupnya di ibukota dengan mengikuti tetangganya berjalan berkeliling ibukota negeri berbekal karung besar mengumpulkan barang-barang berkas di pinggir jalan, di tempat sampah. Saat beristirahat di tempat yang teduh bokis sangat terkejut karena tiba-tiba ada beberapa penduduk yang menggunakan mobil atau motor memberi makanan berupa kue, nasi bungkus atau uang. Sering mereka tak perlu membeli makanan sehari itu karena pemberian orang yang tak dikenalnya sudah mencukupi kebutuhan konsumsi perutnya hari itu.

Setelah merasa berani, Bokis menjalani profesi memulung sendiri dengan mengambil route perjalanan berbeda dengan tetangga yang mengajaknya ke ibukota. Bokis sering memulung di sekitar apartemen dan rumah susun karena perolehan barang bekas sering mudah di dapat dalam jumlah yang sanyak.

Suatu ketika Bokis berniat memulung di sebuah komplek rumah susun, tetapi langkahnya terhenti di pintu gerbang karena tak diizinkan masuk oleh petugas berseragam militer yang dilengkapi dengan senjata laras panjang.

"Mengapa Saya tak beoleh masuk Pak?" tanya Bokis pada petugas yang berjaga.

"Ini daerah isolasi untuk orang-orang yang sedang kena penyakit menular". jawab penjaga itu.

Bokis menjauh, sambil beristirahat dia melihat banyak sekali orang yang melakukan aktifitas di luar rumah susun. Ada yang senam, joging, bermain bola, duduk-duduk, dsb. Mereka terlihat bergembira dengan pakaian olahraga warna-warni. Tiba-tiba mereka menghilang semua dari halaman rumah susun.

"Kemana orang-orang tadi Pak?" Bokis mendekat ke penjaga.

"Saat ini waktunya mereka sarapan pagi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun