Mentari mulai kembali dalam peristirahatannya, yang sedari tadi menemani seluruh makhluk hidup menjalani aktifitasnya. Bircang yang tengah mencangkul tanah yang kekeringan akibat sengatan mentari, berusaha menggemburkan tanah agar siap ditanami.
Tuk...tuk...tuk... bunyi cangkulnya kian terdengar nyaring, jari jemarinya yang kurus berusaha menggemburkan tanah, lagi dan lagi. Ibunya tengah menyiram tanaman, dan Bircang sekali-kali menengok gerak-gerik orang berlalu-lalang di jalan raya.
Tak sengaja ia melihat kawan yang tengah asik bermain sepeda. Mereka saling melempar senyum, namun tatapan Bircang seakan ingin ikut bermain bersama. Kawan yang lain mulai memanggil lagi sambil melewati Bircang yang tengah mencangkul sembari berkata "ye... Bircang anak yang rajin" dengan senyuman lebar kemudian menjauh.
Waktu mulai berlalu sepetak cangkulan akhirnya selesai, saatnya mengambil air di sumur tuk membasahi tanah yang telah digemburkan. Namun itu terasa sulit baginya, Ibu pun membantunya mengambil air dari sumur yang teramat dalam itu. Mesin air tak mampu mengalirkan air, karena air sumur mulai surut karena musim. Hal ini tidak hanya meresahkan Bircang dan Ibundanya saja, tetapi warga yang ada di sekitar pun merasakan hal yang sama.
Satu, dua, tiga dan masih banyak lagi perempuan di desa Bircang melakukan aktifitas yang sama, yakni berkebun. Bircang dengan senang hati membantu dan memenuhi permintaan sang Ibunda meski harus rela meninggalkan sepeda dan kawan-kawannya.
Desa yang hijau, bersih, rapi dan desa yang tercantik, itulah julukan desa Bircang yang membuat tetangga desa iri dengan pesonanya. Bircang menyandarkan punggung mungilnya pada dinding sumur, sambil melihat gerak-gerik sang Ibu, dan sesekali meneguk sebotol air yang sempat dibawanya.
"Lega rasanya telah membantu Ibu", katanya sambil mengayu sepeda dan mulai tenggelam sejauh mata memandang.
Selasa, 17 Maret 2020
(Desa Bina Baru, Kec. Kulo, Kab. Sidrap)