Mohon tunggu...
Dwi Purnawan
Dwi Purnawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya adalah seorang pegiat literasi digital dan jurnalis di salah satu media online lokal di Jawa Timur

Lifetime learner | be a super dad | online jurno

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tembang Mijil yang sarat makna Islami

25 April 2012   13:06 Diperbarui: 4 April 2017   17:52 13250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335358852281192386

Di sela-sela merampungkan naskah Buku, Pacitan The Heaven Of Indonesia, boleh kiranya saya mencoba Filosofi Mijil

mengambil salah satu bab yang saya tulis dibuku ini, lalu kemudian saya share ke teman – teman melalui media blog, yang berguna untuk memperkuat argumen saya dan kajian tentang filosofi tembang mijil dalam masyarakat Jawa.

Setelah melakukan riset dalam kajian tentang studi karakterisasi masyarakat Jawa, akhirnya saya menemukan satu hal yang menarik tentang filosofi tembang Mijil, yang saya dapatkan dari narasumbernya langsung, beliau adalah Bapak Susianto, seorang sesepuh di Desa Kasihan, Tegalombo Pacitan, yang kebetulan juga Rama saya. Yang saya dapatkan dari tembang mijil adalah tata nilai yang harus dipegang teguh oleh masyarakat, tentang persaudaraan, tentang keilmuan, tentang kesantunan, dan berbagai seperangkat etika yang lainnya. Dan saya menemukan ternyata tembang Mijil ini sangat Islami, baik latar belakang adanya tembang ini, maupun nilai moral yang saya kira itu satu penerapan nilai – nilai islam dalam aktivitas keseharian manusia.

Didalam tembang macapat, jawa, kita mengenal yang namanya Tembang Mijil. Tembang Mijil ini memang dalam beberapa referensi digunakan sebagai metode dakwah Islam, beberapa referensi menyebutkan Mijil adalah karya dari Ja’far Shodiq atau sunan kudus, sedangkan referensi lainnya mengatakan Mijil digunakan oleh Sunan Gunung Jati untuk berdakwah. Sedikit memberikan gambaran, bahwa menurut para ahli tafsir sastra Jawa, tembang Macapat itu merupakan urutan sebuah perjalanan seseorang dari lahir sampai mati. “Mijil” adalah yang pertama. Secara harfiah berarti muncul atau tampil, ditafsirkan sebagai sebuah kelahiran. Ada yang menjelaskan bahwa itu merupakan kelahiran fisik bayi lahir dari kandungan ibunya, ada juga yang menafsirkan sebuah kelahiran ketika orang mulai muncul keinginan untuk menjadi baik, dikatakan sebagai kelahiran kembali.

Menurut narasumber yang sama, bapak Susianto, Tembang Mijil ini memiliki seperangkat tata nilai dan etika yang digunakan dalam konteks masyarakat Jawa. Dan salah satu syair Mijil yang terkenal adalah sebagai berikut,

Dedalane guno lawan sekti

kudu andhap asor

Wani ngalah dhuwur wekasane

Tumungkula yen dipun dukani

Bapang den simpangi

ono catur mungkur

Makna moral yang disampaikan dalam bait lagu tersebut, menurut narasumber adalah sebagai berikut, sebagai studi karakteristik Jawa, adalah sebagai berikut,

1.Dedalane guno lawan sekti. Dibuka dengan sebuah kalimat yang mengabarkan tentang jalan agar seseorang bisa menjadi bermanfaat dan sakti. Pemaknaan tersebut adalah sebuah pengingat kita sebagai manusia, bahwa tujuan hidup bisa dilihat dari dua perspektif yaitu mempersiapkan bekal setelah mati (karena manusia pasti mati), dan melakukan sesuatu agar kesempatan kita hidup di dunia ini, menjadi sebuah kehidupan yang bermakna dan memberi manfaat bagi kehidupan. Sakti bisa ditafsirkan tentang gambaran sebuah pengetahuan dan ketrampilan seseorang. Bait ini bisa diterjemahkan secara jalan agar kita bermanfaat di dunia ini dengan memiliki kapasitas yang kita miliki. Seorang islam harus memiliki ilmu sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Karena kalau iman saja, kemudian tanpa ilmu, maka itu tidak berguna. Maka harus berilmu dulu, beriman, lalu yang selanjutnya adalah aplikasi dalam bentuk amal.

2.Kudu andhap asor. Yang berarti harus bisa menempatkan diri sehingga kita bisa selalu menghargai orang lain. Andhap asor artinya ‘dibawah’. Bukan dilihat sebagai kita berada dibawah, tapi dilihat sebagai kita menempatkan orang lain selalu lebih tinggi dari kita, selalu kita hargai, selalu kita hormati, tidak peduli apakah dia pejabat atau bukan pejabat, orang pandai atau tidak, kita tetap harus menghargainya sebagai sesama manusia. Dan menariknya, kalimat ini menjadi bait kedua setelah kalimat pembuka. Seolah memberi penekanan mengenai awal pertama kali seseorang harus mampu untuk ‘tahu diri’, sehingga bisa ‘menempatkan diri’. Untuk kemudian mampu ‘membawa diri’ kita pada tujuan kita sebagai manusia. Ini adalah tata nilai dalam islam, memiliki akhlak yang baik, atau disebut dengan akhlaqul karimah.

3.Wani ngalah dhuwur wekasane. Adalah bait ketiga, mmeiliki makna ketika kita diminta untuk mengalah justru membutuhkan keberanian. Biasanya orang berbicara agar seseorang harus berani agar menang. Tapi ini tidak, justru kita harus berani mengalah. Dalam islam sendiri kita sangat paham bahwa musuh paling besar seorang manusia adalah dirinya sendiri, egonya sendiri. ‘Mengalah’ bukan berarti kita kalah terhadap orang lain, ‘mengalah’ adalah ketika kita bisa menang atas diri kita sendiri. Sehingga benar juga kata orang-orang itu, bahwa untuk menang harus berani. Tapi yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah menang terhadap diri kita sendiri, kita memiliki kendali terhadap diri kita sendiri. Kita mampu memimpin diri kita sendiri. Itulah arti ‘mengalah’, dan hal tersebut memang butuh keberanian. Meiliki sikap mengalah akan meningkatkan derajat kita sebagai seorang muslim dimata Allah Ta’ala.

4.Tumungkula yen dipun dukani. Secara harfiah bait ini berarti ‘jangan membantah bila kita dimarahi’. Kita melihat ‘dimarahi’ bisa berarti oleh orang lain, tapi juga bisa oleh ‘kehidupan’, oleh ‘alam’, dan diujung perenungan itu bisa ‘oleh’ Sang Pencipta. Sebuah bencana, kecil atau besar, menimpa diri pribadi atau suatu umat, adalah juga saat kita ‘dimarahi’. Kita menemui kegagalan. Dan ‘tumungkul’ berarti ‘jangan membantah’. Yang bisa diartikan bahwa saat ‘dimarahi’ sebaiknya ‘tidak membantah’, tidak melawan, tidak putus asa, pantang menyerah, dan juga tidak saling menyalahkan. ‘Tidak membantah’ juga diartikan sebagai diam, mau untuk merenung, mau untuk belajar. Sebagai seorang muslim, menjadi generasi pembelajar sejati ini menjadi satu hal yang wajib dilakukan. Bahasa kerennya adalah ‘Tarbiyah madal hayah’.

5.Bapang den simpangi. Bapang adalah nama sebuah gubahan tarian yang bisa dikonotasikan sebagai bentuk ‘hura-hura’. Bait ini bisa diartikan agar orang sebaiknya menghindari hal-hal yang berifat ‘hura-hura’. Lebih jauh lagi dimaknai sebagai hal-hal yang hanya ada dipermukaan. Karena konotasi ‘bapang’ bisa diperluas kepada hal-hal yang hanya tampak indah dipermukaan tapi dalamnya rapuh. Mungkin ini bisa dijabarkan kepada sikap-sikap pargmatis, yang menuhankan eksistensi dan pencitraan diri semata, sifat suka dipuji, senang kalau orang lain mengagung-agungkan kita. Hal itulah yang sebaiknya dihindari. Nah, inilah yang dalam Islam disebutkan dengan memiliki sikap qonaah, sederhana, dan tidak berlebih – lebihan.

6.Ono catur mungkur. Bait terakhir ini memiliki makna hafiah untuk mengindari pergunjingan. Pergunjingan biasanya selalu berawal dari prasangka buruk. Kalimat ini adalah sebuah inspirasi, alih-alih kita terlalu menanggapi prasangka buruk terhadap kita, sebaiknya justru kita lebih fokus pada apa yang baik kita kerjaan, dalam rangka memberi manfaat tadi. Terus berkarya dengan apa yang kita miliki, dengan apa yang kita punya. Mungkin ini adalah seri otokritik untuk Indonesia saat ini. Pertengkaran yang memang sebaiknya dihindari. Dalam islam, bahkan hukumnya bergunjing, ghibah, itu diharamkan. Nah.

Ada beberapa hal yang bisa diambil dari filosofi tembang mijil dalam masyarakat Jawa, yaitu tentang etika, jelas tercermin dalam semua baitnya, baik bait pertama sampai terakhir. Kemudian yang kedua adalah nilai dakwah islam yang ada di setiap baitnya. Selain tentunya karya ini dibuat oleh orang islam, nilai – nilai yang terkandung sangat Islami, yang menjelaskan didalamnya tentang makna persaudaraan, makna kesederhanaan hidup, makna kesantunan sikap, makna anti perpecahan, simbol tentang kekuatan yang harus dimiliki agar menebar manfaat dalam kehidupan, dan masih banyak lagi nilai dakwah di tembang Macapat Mijil ini. Nah, akhirnya kita mengetahui, betapa tembang Mijil ini sangat Islami. Selamat nembang.

Panji Anom Kaliwinong

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun