Ada sesuatu yang terasa menyejukkan dalam setiap kata yang diucapkan Arinal Djunaidi. Saat dia berbicara tentang perdamaian pasca Pilkada, tidak sekadar kata-kata yang keluar, tetapi semacam harapan yang ditenun dari hati seorang pemimpin yang memahami bahwa kekuasaan hanyalah alat, bukan tujuan. Pada hari itu, 27 November 2024, di TPS 10, Sepang Jaya, Bandar Lampung, di tengah keramaian pemilih yang mengantre, Arinal menunjukkan bahwa demokrasi sejati adalah tentang cinta dan keberanian untuk menjaga persatuan.
Sambil didampingi istrinya, Riana Sari, Arinal menegaskan bahwa siapa pun yang menang nanti, tugas segenap Warga Lampung adalah menjaga kedamaian. Jangan ada euforia berlebihan jika menang, dan jangan kecewa jika kalah. Ada kebijaksanaan di balik ucapan itu, sebuah pengingat bahwa pemilu bukanlah ajang untuk memecah belah, tetapi sarana untuk mempererat ikatan kita sebagai warga Provinsi Lampung.
Pesan itu datang di saat yang tepat, ketika kegaduhan politik sering kali menciptakan jurang yang sulit dijembatani. Tetapi di hadapan warga yang hadir, Arinal seolah menegaskan kembali hakikat demokrasi yang sebenarnya. Pilkada, menurutnya, adalah jalan untuk memilih pemimpin, tetapi lebih dari itu, ia adalah ujian kebesaran hati. Kebesaran untuk menerima perbedaan, dan kebesaran untuk tetap saling bergandengan tangan, apa pun hasilnya.
Arinal Djunaidi tampaknya paham betul bahwa dalam demokrasi, kekalahan bukanlah akhir, dan kemenangan bukan alasan untuk berhenti merangkul. Demokrasi yang sehat tidak hanya terletak pada proses pemungutan suara, tetapi juga pada apa yang terjadi setelahnya. Ada tanggung jawab moral di sana, tanggung jawab untuk menjaga api perdamaian tetap menyala, bahkan ketika hasil tidak berpihak pada harapan kita.
Pilkada di Lampung bukan sekadar soal kotak suara dan bilik kecil tempat kita mencoblos. Ia adalah cerita tentang bagaimana kita, sebagai warga, belajar dewasa. Dalam setiap surat suara yang dilipat, terkandung harapan; dalam setiap tangan yang memasukkannya ke kotak suara, ada doa. Tetapi demokrasi bukan hanya tentang itu. Ia juga tentang kemampuan kita untuk menerima bahwa dalam setiap kemenangan ada ruang untuk kalah, dan dalam setiap kekalahan ada pelajaran untuk menang.
Arinal tidak hanya bicara tentang menang dan kalah. Dia bicara tentang Lampung yang lebih besar dari ambisi siapa pun. Dia mengajak segenap pihak untuk terus saling bahu membahu membangun Lampung yang lebih baik, untuk semua. Pernyataan ini adalah sebuah deklarasi bahwa bagi seorang pemimpin sejati, kemenangan tidak hanya diukur dari jumlah suara, tetapi dari seberapa baik ia menjaga kebersamaan di tengah perbedaan.
Ketika kita memandang sosok seperti Arinal Djunaidi, kita tidak hanya melihat seorang calon gubernur. Kita melihat seorang manusia yang memahami bahwa kekuatan sejati ada pada persatuan. Pesannya tentang perdamaian adalah ajakan bagi kita semua untuk melampaui ego, melampaui rasa sakit dari kekalahan, dan melampaui kebanggaan dari kemenangan. Karena pada akhirnya, Lampung adalah milik kita bersama.
Dan di sinilah keindahan demokrasi yang sejati: ia tidak diukur dari hasil akhir di papan penghitungan suara, tetapi dari seberapa kuat kita tetap berdiri bersama setelah semuanya selesai. Kita, warga Lampung, memikul tanggung jawab ini. Seperti yang diingatkan Arinal, kedamaian bukan hadiah, tetapi hasil dari upaya kita menjaga harmoni. Ini bukan tentang dia, atau tentang siapa yang akan memimpin; ini tentang kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H