Oleh: Dwi Lestari Wiyono
Kita adalah kita para kasatria yang dikirim turun ke bumi sesuai dengan masa, periode waktunya masing-masing. Kita adalah kita para kasatria yang ketika diturunkan ke bumi kita tahu dan secara sadar mengerti bahwa sesungguhnya kita memang memiliki misi dan tugas yang dibebankan pada diri. Perlahan namun pasti para kasatria menunjukkan wajah asli mereka pada bumi. Bumi, akan tetapi apakah kau percaya kalau aku, aku yang terlalu biasa ini adalah perwujudan dari salah satu kasatria tersebut? Aku adalah seorang kasatria terpilih. Apakah? Akankah kau mampu untuk mempercayainya?
Pusat Kota - Jakarta 2000,
Senja ini memelukku lebih erat, mendekapku lebih hangat, dan menciumku lebih ... lebih lembut dari biasanya. Aku benar-benar merindu. Aku merindu sosok yang masih terlihat samar bagiku. Entah itu sesosok siapa; remang.Sayapku patah, dulu. Saat aku merasa sendirian di dunia ini. Tanpa kawan, tanpa teman yang mau sekiranya berbagi denganku; kosong dan hampa. Aku terkurung dalam dimensiku, dimensi ruang yang kuciptakan sendiri. Dimensi dimana dinding-dinding ini kubuat, kuciptakan serta kujalin dari kumpulan-kumpulan, gumpalan-gumpalan kesedihan rasa sakit akan kehidupan di bumi ini. Dimensi yang kubendung, kujaga agar tidak ada satu orang pun di bumi ini yang akan dapat dengan mudahnya menyakitiku.
"Boleh kutahu namamu, wahai engkau yang telah berhasil mengetuk melihat benteng pertahanan hatiku?"
"Boleh kutahu namamu Dinda?"
Rumah Sakit - Surabaya 2003,
Hari ini, sudah genap dua periode aku mengenalmu. Dua periode ...? Aku mengenalmu, hanya melalui suara-suara, ketukan-ketukan yang membuatku terketuk, terpana padamu. Sesederhana itu? Ya ... sesederhana itu, percayakah kau bahwa aku telah dibuat gila, gila segila-gilanya lupa sejenak karenamu. Aku seperti orang yang tengah dimabuk cinta. Menggila dengan mudah teramat cepat bahkan. Cintaku mengembara menembus ruang dan waktu, memangkas jagat raya, memotong, membekap antariksa yang kutahu kalau kau akan mungkin berada didalamnya. Apakah ... kau ingin aku membuktikannya untukmu? Aku menunggu. Aku menunggu janjimu, ikrarmu padaku. Bahwasanya kau berkata, mungkin suatu saat nanti akan menemuiku dalam bumiku; bumi yang nyata. Bumi tempat aku berpijak selama ini. Tapi, entahlah. Kau tidak pernah sekalipun menepati ucapmu, janjimu padaku. Tak berbentuk dan tak berwujud. Itu dirimu. Tidak ... tidak, aku tidak lupa. Aku ingat bahwa sedianya kau pernah satu kali atau mungkin dua, tiga kali menjadi pahlawan bagiku. Kau mengingatnya bukan? Kau adalah penyelamatku. Kau adalah kasatria bagiku. Aku terbiasa disakiti dan aku memaklumi dirimu yang mungkin berdusta padaku. Sebab apa? Karena apa? Mungkin ... karena aku terlahir berhati malaikat; selembut sutera, seputih kapas. Tahukah dirimu, aku membenci kehidupan di bumi ini. Rasanya aku ingin kembali ke tempat di mana kita berasal. Ayo, ayo ... ayolah kita lari bersama. Kita bunuh bersama-sama rasa sakit yang ada di bumi ini. Sanggupkah, kau melakukannya untukku, bersamaku? Rotasi bumi ini terpecah, seperti halnya diriku yang tak sanggup hidup bernapas sedetik saja tanpa kehadiran dirimu. Apakah kau lihat, matahari masih meninggi tegak lurus berdiri, ia masih tersenyum, meski kutahu senyumnya tak lagi cemerlang. Matahari mungkin telah ternoda. Ayo pegang tanganku, raih diriku, dan bersama-sama kita jemput impian dalam ruang tanpa batas -- ruang yang kita ciptakan sendiri. Atas nama kasih. Atas nama rasa. Percaya.
Pusat Kota - Jakarta 2005,
Ibu menegurku, tentunya dengan teguran yang halus. Beliau mulai tidak menyukai kebiasaanku yang tak lazim. Kebiasaanku yang unik. Aku tahu, ibuku mengetahui sesuatu. Aku tutup lembaran-lembaran cerita terakhir pada buku harianku. Aku berharap, mungkin, dengan tertutupnya cerita terakhir di buku ini aku akan segera dapat menemuimu. Aku tidak tahan dengan kehidupan monoton yang terus berulang. Rasanya aku pun ingin mati bersamamu. Mati dalam kedamaian. Mati, dimana aku membayangkan langit dan kasih menjadi selimutnya. Dinda, kau mau `kan mati bersamaku? Mati dalam damai. Mati dalam kesunyian, tanpa suara. M-a-t-i. Aku suka kata maupun rangkaian kalimat itu, teramat.
Rumah Sakit -- Surabaya 2010,