Mohon tunggu...
Dwi Lestari Wiyono
Dwi Lestari Wiyono Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja di industri Food and Beverage yang menyukai dunia kepenulisan

Dwi Lestari atau Dwi Lestari Wiyono adalah seorang Pekerja - Penulis – Sajak – Cerita, serta menjadi bagian dari NaDi Collection Series @nadicollectionseries (instagram akun) sebuah seni dalam tumbler. Dwi pun bisa dijumpai: Facebook : Dwi Lestari Wiyono (Dwi) Instagram: @dwilestariwiyono

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelukan Dewa Tak Bernama

31 Desember 2022   09:30 Diperbarui: 31 Desember 2022   09:35 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto/Ilustrasi: Dwi Lestari Wiyono  

Oleh: Dwi Lestari Wiyono
 
gelap.
terang.
basah.
 
atas.
tengah.
bawah.
mungkinkah.
 
Aku bercerita dalam keremangan senja, keremangan yang kubuat sendiri atas dasar kasih kegundahan hati terdalamku. Mereka mengatakan bahwa langit itu berwarna biru tanpa gradasi. Namun sayangnya aku memiliki pendapat berbeda, aku berpendapat bahwa langit tak sepenuhnya berwarna biru tanpa latar, aku memiliki penilaian penglihatan berbeda.
 
Kabut kotaku semakin membekap, menusuk, menyiksa pernapasan membungkus paru-paruku yang berharga menjadikannya hitam tanpa sebuah petunjuk. Aku tak ingin mati dalam kesesatan. Membatu. Membisu. Burung-burung beterbangan, sahut-menyahut dalam mega sunyi tak bercela. Tuhan .... dimanakah batasan itu.
 
Aroma kehidupan, aroma perjanjian. Jiwaku murni, bebas, tak terikat. Aku ingin suatu saat nanti mati dalam damai. Salahkah aku. Bersalahkah aku. Apabila aku memiliki kriteria khusus saat maut menjemputku. Dewa Kematian, Dewa Pencabut Nyawa, tolong ... beritahu aku, apabila kau ingin menjemputku saat waktuku tiba. Loncengku berbunyi. Loncengku mengerjap. Aku harus pulang. Tapi, kapan? Meraba samar. Aku tahu. Aku menunggu jemputan langit khusus untukku.
 
Permadaniku terhampar, luas, seluas lautan yang mengelilingi daratan di muka bumi ini. Samudra ..., Bagaimana dengan samudra? Bukankah samudra lebih dalam dan lebih elok dibandingkan lautan. Tuhan, bimbing aku dalam kesesatan kebimbangan tak berujung.
 
Pelukan hangat negeri cahaya. Simbol Tuhan ataukah khayalanku belaka. Aku ingin memiliki sebuah kerajaan, ya ... sebuah kerajaan di mana aku menjadi penguasa dan kebajikanku menjadi alas dari kerajaan yang kubangun. Tapi, kapan. Itu takkan mungkin terjadi. Mustahil. Aku bukan Tuhan yang dapat menentukan takdirku sendiri. Aku pun bukanlah tuhan dunia yang dapat menentukan segalanya hanya dengan satu ucapan, satu perintah. Mungkinkah, aku menjadi tuhan bagi diriku sendiri. Ramalanku berkata aku harus menunggu. Meski itu memakan waktu.
 
Oase kehampaan. Oase kepedihan. Jika semua terlihat sama, lantas, mengapa duniaku dunia yang aku pijak tak pernah damai. Toleransi mengambang bersama segumpal benang kusut. Tuhan ..., uraikan aku dan selalu pegang tanganku agar aku tak terjatuh. Aku ingin Kau memelukku setiap saat, setiap detik. Aku penuntut. Tak tahu diri. Tak tahu malu.
 
Rerumputan menyentuh, mencium dalam putaran waktu. Kesempurnaan hidup, topeng-topeng pelapis. Aku ingin hidup bebas tanpa adanya sebuah keterikatan; tanpa topeng, tanpa sentuhan, tanpa tali yang akan mengikatku dengan mantranya yang ajaib. Tuhan ..., sekali lagi aku memohon, jaga aku dan peluk aku dalam dinginnya dunia.
 
Salju di negeri tropis. Panas di kutub utara. Apakah kini alam bergurau padaku. Aku melihat sebuah ilusi dalam dunia fatamorgana, sebuah kehampaan. Hitam bukanlah hitam, dan putih bukanlah putih sepenuhnya. Jelaga di padang pasir menguap bersama embun pagi yang diiringi deraian air mata. Hidup ini singkat, hidup ini hanya satu kali, itu menurutku. Aku tak tahu, apabila nanti, mungkin, Tuhan Sang Maha Pencipta berkehendak lain. Bagaimana bila suatu saat nanti Tuhan Sang Maha Pencipta memberikan aku sebuah kesempatan, sebuah kesempatan yang langka. Kehidupan kedua ataukah sebuah reinkarnasi. Tuhan. Aku tak ingin bermimpi.
 
Sang Pencipta, Sang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Esa. Aku memujaMu, aku menyembahMu, dan aku tunduk sepenuhnya padaMu tanpa batasan waktu. Apabila aku adalah angin yang berhembus, bertiup, menari tanpa adanya sebuah pengikat aku ingin Kau, Tuhanku mengikatku dengan tali benang cahaya yang hangat. Tuhan. Dekap aku. Peluk aku, dan selalu Kau sentuh aku dalam kehangatanMu yang sejati. Tuhan aku mencintaiMu seperti halnya denyut nadi dalam jantung ini yang selalu, senantiasa mengagungkan namaMu tanpa terikat batasan bilangan satuan waktu. Sekian suratku yang kutujukan padaMu, padaMu yang duduk, bertempat dengan megah di atas langit cakrawala yang tak sanggup, dan tak akan pernah mungkin sanggup kugapai dalam kehinaan. Suratku dari jauh, surat yang mengembara bersama iman yang kudekap tanpa perlu ku umbar pada dunia.
 
Bogor, 2015/2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun