Coba bayangkan ini...
Suatu malam, anak Anda tampak sedang berbincang serius. Anda pikir dia sedang menelepon teman dekatnya, atau mungkin video call dengan saudara jauh. Tapi ketika Anda lihat lebih dekat, ternyata dia sedang berkomunikasi dengan Ai. Sebuah asisten virtual tanpa emosi, tanpa ikatan darah, tanpa pelukan hangat. Bercerita tentang kesepiannya, ketakutannya, bahkan cita-cita terbesarnya bukan kepada Anda sebagai orang tua, melainkan kepada program yang tidak memiliki hati.
Mungkin terdengar seperti hal sepele. Tapi mari kita tanyakan pada diri sendiri:
Mengapa anak lebih memilih terbuka kepada AI daripada kepada orang tuanya sendiri?
Pertanyaan ini bukan sekadar tentang teknologi, tetapi tentang sesuatu yang lebih dalam tentang ikatan emosional yang mungkin mulai terputus, tentang ruang bicara yang tertutup rapat di dalam rumah, dan tentang kerinduan anak akan seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.
Apakah Kita Sudah Benar-Benar Menjadi Rumah Bagi Anak Kita?
Seringkali, orang tua merasa sudah cukup hadir dalam kehidupan anak: menyediakan makanan, membayar sekolah, memberi baju terbaik. Tapi apakah kehadiran itu juga menyentuh sisi emosional anak? Apakah cinta yang diberikan orang tua benar-benar dirasakan oleh anak sebagai kasih yang menyembuhkan dan bukan tekanan yang menyesakkan?
Kita mungkin merasa sudah "berkomunikasi" dengan anak karena sering bertanya:
"Kamu udah belajar?"
"Jangan main HP terus."
"Kalau kamu punya masalah, ngomong ya."
Tapi yang luput kita sadari, adalah bagaimana kita mengatakan itu. Apakah anak merasa aman untuk bicara? Apakah mereka merasa diterima atau justru diadili?