Mohon tunggu...
Dwi Haryanti
Dwi Haryanti Mohon Tunggu... Relawan - Bukan Pewayang

Tulislah apa yang bisa kau tulis, Kerjakan apa yang bisa kau kerjakan, yang penting mah seneng.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalang

5 Juni 2020   17:15 Diperbarui: 5 Juni 2020   17:12 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*APAPUN!!*


Dihaturkan segala salam untuk semua jenis dan kalangan, sudi kiranya mengizinkan kaula sedikit bercerita, mega mikro perihal diri dan hati, sekirakiranya pun tidak, tak masalah bagiku untuk mengabaikan pula. Perjuangan para pahlawan revormasi benar benar sangat mempermudahku melakukan segala apa kumau, jika saja kaula diizinkan sekali bertemu dengan salah satu, sekiranya akan kuupayakan segala pintaannya, dari bunga tujuh rupa, sampai ikan tujuh samudra, tapi beruntung pula itu tak terjadi, sehingga tak menyulitkanku untuk memenuhi janji.

Aku, salah satu makhluk tanah yang diberi izin ruh oleh sang pencipta, lagi lagi menuntut soal yang tak berjawab, sekalipun ada, rasanya ragu, tetap bukan itu jawab yang kumau,

Yah apadayaku makhluk berkalang durja, teman para iblis dari jahannam, sudah tak bersyukur, tak memberi, dengan tidak tahu diri malah meminta-minta, dengan angkuh pula. Asemmlah!!
Bila saja ada seribu orang sepertiku, tak elak, mungkin saja malaikat utusan tuhan sudah kewalahan. Mungkin.

Sudah 16 tahun kaula menjalankan ibadah belajar yang dititah oleh sang maha raja di lingkupan rumah, dan di tahun corona ini tepatnya tahun 2020, yang mana dikabarkan lewat banyak media akan maraknya penyebaran virus yang disebut covid 19. Halahh tapi apa peduliku, persetan dengan weswos orang orang, bukan urusanku!!

Yang jadi masahku kini, efek dari kekhawatiran gubernemen yang peduli pada rakyatnya, kalian tau apa itu? Kita, seluruh elemen  tanah dipaksa berhenti menjalani rutinitas kerobotan yang dipasung bertahun tahun lamanya, kalau tak salah mereka menyebutnya dengan kata Lockdown, apalah itu artinyapun aku tak tahu. Boro boro bahasa inggris, bahasa ibupun aku wes pualeng ra karuan, entah apa yang kugunakan sehari hari hanya bahasa setan yang membuat banyak ruh dilain tubuh menjauh risih. Jijik mungkin. Yah lagilagi ku katakan. Aku tak peduli, toh aku hidup bukan bernafaskan puji.

Berlanjut dalam pembahasan efek dari kekayaan sifat kepedulian yg membuatku sedikit lega, sebab tak perlu lagilah aku harus bangun pagi, menggosok gigi, cuci muka, dan berapih rapih lainnya demi memenuhi standar kepuasan mata orang lain.
Tapi, efek dari kekayaan tersebut pula cukup banyak mencekik jiwa jiwa umur muda sepertiku ini, bayang saja olehmu, umur sepersedikit ini. Masa dituntut untuk #dirumah aja, bagaimana bisa hidup tanpa berkumpul, yah walau sebenarnya bukan hanya itu mauku.

Nguli-ah, sekolahku di tahap ke lima ini menginjak tepat di umurku yang ke 21. Alamakk, tua sekali aku. tetangga, sanak saudara, kawan kawan lama beranak pimak sedang aku masih mencari cari ilmu dalam ruang kelas, tapi tak apa, Tuhan memang selalu punya cara tersendiri bukan?, salah satunya cara mempertemukan ku dengan mas pemuas mata harianku.
Yah semalas malasnya aku belajar, setidaktidaknya pula aku belum ingin berkata bosan memandang wajahnya di lalulalang sekolah,
Dan masa iya, hanya karna virus kecil ini aku harus melawan besarnya rasa rindu sepasang mataku yang ingin menyaksikan keagungan surga lewat lekuk wujudnya.

Sudah seminggu loh aku, berpuasa menahan bosan, tak ada hiburan, apalagi mas mas jalanan yang tadi kuceritakan,

Hanya dapur, kamar, dan wc yang menjadi wisata harian, dan ya, untuk mas yang tadiku bilang jujur aku masih belum mencarinya lebih dalam.  
Jauh jauh kenamaannya, ia satu sekolah atau bukannya saja aku tidak tahu, yang membuat ku tau setidaknya ia sama sama bersekolah hanya karna pernah sekali waktu aku melihatnya membawa makalah pelajaran. Jika saja aku tak menyaksikan peristiwa itu, bisa bisa aku mengira ia hanya tukang ojek di perapatan atau penjual jasa kota lainnya.
 
Bagaimana tidak, sekiranya pendapatku soal ini tak beda jauh dengan pandangan umum lainnya kala melihat pria rewok, rambut autautan seperti tak pernah mengenal apa itu sisir, berpakaian lecek, yang tak disetrika malah mungkin tak ganti dalam beberapa hari belakangan, yah ala ala babang angkot atau tukang sol di pasaran. Meski setidaknya kulit putih dan cacat wajah yang ada di pipi bagian kirinya, hanya sebelah kiri!, cukup membantu menaikkan pangkatnya dikalangan pria berwajah tampan walau tak banyak.

Sebenarnya tak sampai fikiranku berkata soal hati, bagaimana bisa, kenal saja tidak, sombong sekali sudah menjamah yang tak teraba, tapi setelah lagi lagi logikaku menjalankan perannya guna menuntut jawab, bagaimana caraku menganal rindu? Lancang sekali aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun