Seni Budaya  adalah hasil budi daya manusia, karya yang melibatkan rasa, kreatifitas dan interaksi manusia, lingkungan atau alam semesta. Hasil dari budi daya manusia  lahir karya  seni yang bisa diwujudkan secara visual, gerak, suara dan perpaduan dari pelibatan semua indera. Seperti halnya teater,  drama dan pagelaran.
Sekarang ini di medsos sering muncul gerakan untuk kembali memakai produk budaya Nusantara yang kaya dengan berbagai motif, desain dan kreatifitas tinggi serta mengandung nilai-nilai filosofis tinggi. Baju-baju itu mempercantik penampilan, memberi rasa bangga dengan ragam budaya tersebar di nusantara ini, dari Aceh sampai Papua. Dari produk baju adat, ukir-ukiran, ragam hias, rumah, artefak bangunan yang sudah muncul berabad-abad yang lalu.
Produk Pakaian dan Aturan Berpakaian pada Agama
Warisan budaya itu memberi tanda sudah ada peradaban maju di zaman lampau. Pakaian sebagai identitas, yang bisa menggambarkan status sosial, seberapa tinggi tingkat peradaban zaman dahulu kala. Warisan kearifan alam, harmoninya manusia dan alam semesta itu memberi bukti bahwa manusia selalu bisa menyelaraskan kehidupan dimanapun mereka berada.
Bentuk harmoni, kesatuan, meleburnya manusia dengan dinamika alam semesta juga bagian dari rasa syukur pada  Tuhan Yang Maha Pencipta. Sekarang, dengan kemajuan zaman,munculnya agama-agama baru yang datang dari luar Indonesia, ada yang memberi warna, ada juga yang memunculkan kontradiksi karena ada banyak orang yang menafsirkan beda antara agama dan budaya.
Bagi  penganut agama fanatik, ada kecenderungan untuk mencoba memisahkan budaya dan agama. Di medsos debat masalah baju, kebudayaan, pelestarian produk budaya selalu ditarik dalam ranah beda sudut pandang antara agama dan budaya.
Menurut dogma, haditz, aturan agama banyak benturan jika bicara tentang aturan berpakaian, kepatutan perempuan dalam mengenakan baju. Salah satu alasan mengapa muncul perdebatan cara berpakaian adalah hukum agama yang begitu ketat mengatur tentang perilaku manusia. Saat ini karena kemajuan zaman, perilaku menyimpang manusia seperti melakukan tindak asusila, pergaulan bebas, pelecehan seksual, memicu pemuka agama, dogma agama mengatur ketat cara berpakaian manusia, cara melindungi diri dan pencegahan agar tidak menjadi korban kebrutalan perilaku manusia.
Padahal sejak dulu manusia selalu selalu berada dalam dua dunia, putih dan hitam, jahat dan  baik, patut diteladani, yang perlu dijauhi. Kalau membaca novel, terutama novel budaya, cerita dongeng, fabel, dan cerita yang diwariskan turun temurun traditional story, muncul tokoh protagonis yang mewakili kebaikan dan antagonis yang mewakili kejahatan, kekejian dan ketamakan.Banyak disoroti  manusia berwatak iblis yang pekerjaannya adalah membunuh, menyiksa dan merusak kehormatan perempuan.
Sejak peradaban manusia muncul selalu ada perbenturan antara  jahat dan baik. Hal ini berlangsung sampai sekarang. Saat ini dengan munculnya internet media digital, era komunikasi semakin canggih, peristiwa sekecil apapun bisa diakses dengan sangat cepat. Apalagi berita tentang pelecehan seksual, perselingkuhan, akan mudah viral. Di situlah akhirnya seperti ada persidangan massal. Pasal-pasal, dogma agama dan opini masing-masing netizen menjadi polemik luar biasa.
Sudut Pandang Yang Berbeda Tentang Agama dan Budaya
Masing-masing dengan sudut pandangnya sendiri berdebat hal-hal yang susah diketemukan solusinya. Membenturkan budaya dan agama rasanya kurang pas, sebab budaya dan agama seharusnya selaras, seirama. Â Budaya adalah salah satu sarana ketaatan beragama. Budaya menjadi salah satu sarana untuk meredam agresifitas, menekan penyimpangan karena ada kompensasi kegiatan yang positif. Baju adalah identitas, setiap daerah mempunyai ciri khasnya sendiri, menyesuaikan dengan lingkungan setempat. Ada yang pakaiannya cukup terbuka, ada yang bahkan tertutup sama sekali karena kondisi alam dan perilaku manusia, akhirnya mengenakan pakaian tertutup untuk menghindari banyak hal termasuk keganasan manusia dalam hal nafsu purbanya (seksualitasnya)
Yang sering diperdebatkan di medsos adalah tafsir manusia dalam menganalogikan peraturan. Sudut pandang mereka yang menerima ajaran-ajaran yang diterima oleh mereka melalui pemuka agama. Ada yang ketat, ada yang fleksibel dalam memahami dogma atau aturan dalam agama. Munculnya fanatisme agama adalah karena ketaatan mutlak pada pemimpin agamanya hingga muncul tafsir yang memungkinkan aturan kaku dalam memahami produk ajaran agama. Dalam hal ini, muncul radikalisme dalam beragama. Cara kekerasan dilakukan untuk menyelesaikan masalah, tindakan brutal untuk orang yang tidak sepaham. Padahal esensi agama di dunia mengajarkan tentang kebaikan.
Pemaksaan sudut pandang dalam beragama memberi ekses manusia saling menyerang dan saling memusnahkan atas nama agama. Padahal agama manapun tidak menganjurkan kekerasan sebagai pemecahan masalah. Pasti seorang yang benar-benar memehami esensi beragama akan mengambil jalan damai, penuh kasih, penuh cinta. Produk budaya memberi sentuhan keindahan, memperkenalkan ke orang-orang betapa indahnya bila manusia mempunyai kehalusan budi, peka terhadap kesulitan, penderitaan, da kesulitan sesama baik dengan sesama makhluk hidup, yang terlihat dan yang menjadi bagian dari zat kehidupan.