Pernahkan merasakan menjadi manusia sendiri tanpa pacar, tanpa pasangan, kost sendiri, ketika sakit hanya kesunyian yang menemani. Itu kurasakan duapuluhan lalu. Hidup di kota besar usia sudah sangat cukup untuk melangkah ke bahtera pernikahan tetapi memang nasib jodoh belum ketemu. Kalau pulang ke kampung bertemu orang tua selalu ditanyakan kapan menikah. Aku hanya tersenyum kecut." Entar, nanti  ketemu jodohnya, Ya pak, Bu"
"Jodoh itu bukan ditunggu Nak, jodoh itu dicari dan dikejar, atau kalau susah mau kami jodohkan, ada banyak calon nih tinggal pilih. Aku berpikir ah memang kalau dijodohkan akan bahagia, lebih senang bisa menemukan jodoh sendiri. Kalau dijodohkan seperti ada beban kalau tidak suka tidak enak dengan yang menjodohkan."
Dilema Jomlo dan Kecemasan Masa Depan
Perasaan menjadi jomblo benar-benar menguras perasaan, apalagi posisi saya dulu dilangkahi, adik sudah lebih dulu menikah dan sudah mempunyai anak yang mulai remaja. Aku sendiri masih belum tahu jodoh saya siapa? Usaha sih ada, pedekate yang berakhir tragis, tanpa kejelasan, tanpa status jelas. Orang yang saya dekati tiba-tiba membawa undangan pernikahan, ia akan segera menikah beberapa bulan ke depan. Ah saya pikir dia jodoh saya, sebab rasanya sesuai dengan kriteria, namun yang dipikirkan saya dan dia beda. Dia ternyata sudah mempunyai pilihan sendiri.
Semakin berumur semakin merasa mungkin pada akhirnya memutuskan menjadi jomlo seumur hidup, tidak apa itu khan pilihan, masalah munculnya omongan teman, saudara, tetangga belajar untuk mengatakan masa bodo, hidup, hidup saya sendiri, keputusan terbaik dan kenyamanan adalah hak asasi manusia. Â Kadang awalnya ada sebuah dilema melihat peliknya hidup dalam keluarga. Ragu kalau benar-benar serius dan akhirnya terjebak dalam hubungan pelik yang tidak dilandasi cinta hanya keterpaksaan. Pada situasi di mana pasangan hidup mulai merasakan perbedaan dan beda prinsip maka banyak sekali yang akhirnya harus mengakhiri pernikahan dengan perceraian.
Padahal setiap orang akan selalu mempunyai masalah dan tentang pernikahan dibutuhkan saling pengertian antar pasangan untuk mengerti dan memaklumi kekurangan, perbedaan latar belakang lingkungan dan budaya dan juga sifat yang sangat bertolak belakang. Jika sudah berani menikah harus siap menghadapi resiko, berselisih paham, mencoba mengerti bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa dipaksakan kepada pasangan untuk bisa mengikuti alur kehidupan yang penuh misteri dan pencobaan.
Jomlo, menjadi sebuah alasan kebebasan, tidak mau diatur, tidak mau terikat, bebas menentukan kehidupan sendiri, sekaligus ada kecemasan tidak bisa membagiakan pasangan karena egoisme masing-masing yang susah ditaklukkan.
Saya dulu pernah mengalami kebimbangan, dan curahan kegalauan itu masih bisa dibaca dibuku diary, berbagai tulisan yang disimpan. Sebagian ada yang dijadikan cerpen, ide novel, ataupun sebagian sudah hilang entah di mana. Menjadi jomlo itu sebuah ujian mental terutama menghadapi orang yang mempertanyakan; "Dia normalkah? Atau jangan jangan sebenarnya Lesbi, Homo, penyuka sejenis? Atau jangan-jangan sebenarnya dia punya trauma masa lalu, pernah diperkosa, pernah mengalami pelecehan sexual, atau ada kelemahan dalam hal sexualitas. Dugaan-dugaan itu akan terus menjadi cobaan yang mesti dilewati kaum jomlo dimanapun berada.
"Ah, lama-lama juga bosan sendiri. Sekarang bodo amat, hidup-hidup gue, kalau saat ini belum dapat jodoh siapa tahu nanti dapat yang kelas kakap, tajir melintir, cantik, ganteng. Hidup khan misteri, Lu,Gue, gak tahu apa yang terjadi selanjutnya dalam hidup kita khan. Jadi jalani saja."
Sebenarnya kalau cocok sudah sejak umur dua lima memutuskan menikah, tetapi waktu itu belum punya modal apa-apa, masih nge- kost, gaji juga belum bisa diandalkan. Rasanya pedekate ke cewek ya hanya dipelengosi (perasaan saja sih). Semakin berumur ternyata semakin perhitungan dan hati-hati dalam memilih pasangan hidup, banyak sekali pertimbangan, banyak sekali hal yang dipikirkan sampai-sampai terlalu pemilih hingga akhirnya tidak ada yang cocok.
Jomlo kadang terasa sebagai sebuah kutukan, nasib buruk dan ketidakberuntungan bagi sebagian orang. Tetapi ada yang menganggap bahwa lebih baik jomlo daripada memikirkan banyak masalah rumah tangga. Ia belajar dari orang tuanya, budenya tantenya, artis-artis yang kawin cerai penuh masalah dan tidak happy. Toh, dengan uangnya, tanpa ada ikatan ia bisa jalan-jalan, healing, pergi nonton konser,menjadi backpaker, travelling dengan bebas tanpa memikirkan pasangan dan anak.
Tapi kau akan selalu melihat bibir-bibir yang aneh penuh cibiran, dan kamu merasa bahwa ibu-ibu yang sedang duduk itu sedang membicarakan kejomloanmu. Mata mereka melirik dan kata-kata tajam mereka seperti menebus ulu hati, mengaduk-aduk perasaan. Ada banyak mata melihat dengan penuh praduga.
"Sebagai hiburan, mungkin Tuhan belum mempertemukan jodoh untukku!"