Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mural, Lukisan, dan Moralitas Seniman Sebuah Refleksi Seni Rupa

21 Agustus 2021   06:54 Diperbarui: 21 Agustus 2021   16:52 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural gagasan Iswanto Yulius sumber borobudur.news.com

 Melihat polemik kritik masyarakat terhadap pemerintah saat ini, terutama lewat mural, sesungguhnya yang terjadi adalah kebebasan berekspresi masih mendapat tempat luas di ruang publik. Kalau satu dua akhinya mengalami pemberangusan karena berpotensi penghinaan terhadap kepala negara itu karena ada seniman yang terpeleset pola pikirnya, menyasar dan merisak tokoh yang sebetulnya sudah tahan banting, tahan mental ketika mendapat kritik berupa penyerangan pribadi dan fisik.

Coba pernah membaca kata plonga - plongo, si kurus, petugas partai, termasuk pengkritik yang selalu membahas kualitas bahasa Inggris sang presiden. Sebut saja Jokowi selalu masuk dalam daftar bullyan oleh para netizen dan pihak yang " tidak suka" dengan sepak terjangnya. Tidak ada pemimpin yang tidak punya kelemahan. Apapun kelemahan setiap pemimpin akan menjadi ladang gurih untuk dirisak oleh mereka yang hobi merisak dan menghina. Mungkin sebuah kebanggaan bisa menghina.

Bila bicara mural, hampir setiap kota budaya sekarang ini muncul fenomena  untuk menampilkan mural yang khas. Di Yogyakarta, di Bandung, di Solo, Jakarta bahkan kota kecil Muntilan kini dihiasi oleh karya mural. Aneka mural hadir, menambah kuatnya image bahwa masyarakat sesungguhnya haus hiburan, haus wisata visual. Kalau mural digarap dengan penuh penghayatan dengan totalitas imajinasi dan karya yang artistik, toh akan menghasilkan gambar yang fenomenal, menyentuh dan menyenangkan.

Mural Iswanto Yulius dan Warga Karangwatu Muntilan (sumber gambar: Iswanto Yulius)
Mural Iswanto Yulius dan Warga Karangwatu Muntilan (sumber gambar: Iswanto Yulius)

Iswanto Yulius nama yang familiar di facebook. Lulusan ISI Yogyakarta mendapat ide menghias Karangwatu Sebuah desa di kota kecil Muntilan di belakang bioskos Arjuna atau seberang Kelenteng Muntilan yang dulunya juga ada bioskop Kartika. Mempunyai ide membuat tembok - tembok karang watu dihiasi oleh mural bertema cerita wayang. Berbagai epos wayang ditampilkan dan digambar. Ia penggagasnya dan membuat sketsa dasar dan pewarnaannya diserahkan oleh warga yang ingin merasakan bagaimana asyiknya merupa, mewarnai hingga mereka puas atas hasil karya mereka. Sang Penggagas Iswanto Yulius, yang bisa membuat patung, lukisan dan sering kebanjiran order menatah wayang dengan warna - warna sungging yang halus dan detail, merasa terpanggil untuk membuat gagasan kampung mural.

Proses pewarnaan Mural (Iswanto Yulius)
Proses pewarnaan Mural (Iswanto Yulius)

Kini karyanya terpajang indah.  Bila orang berjalan sepanjang gang di Karangwatu akan terkagum dengan deretan cerita visual tentang wayang. Sudut moral seniman yang terpanggil untuk menaikkan derajad mural ke level lebih tinggi, bukan sekedar banalisme graffiti liar, asal coret serta kesan vandalisme dan liarnya pada seniman jalanan yang cenderung kucing- kucingan dalam menggambar dan melukis. Karya mural itu malah mendapat dukungan khusus dari kepala desa dan kecamatan. Dan kini Karangwatu menjadi salah satu destinasi mural yang paling dicari selain di Bandung, Malang, Solo, Yogyakarta.

Kalau seniman sudah turun gunung, pasti ada karya yang lain daripada yang lain yang bisa ditampilkan. Banyak terobosan membanggakan yang mewarnai jejak kesenian. Kalaupun sekarang satu dua gambar ada yang kurang berkenan dan menjadi polemik karena tragedi pemberangusan, penghapusan atas gambar yang disinyalir merisak simbol negara, senimanlah yang perlu merenung. Sudahkah ia berpikir panjang saat melukis dan menggambar di ruang publik. Apakah pikirannya jernih atau sedang dipenuhi gula - gula kekecewaan oleh sosok yang digambarkannya. Penguasa memang bisa menjadi sasaran kritik, sasaran bullying visual, ditambah dengan aneka pemberitaan provokatif maka gambar yang berkesan merisak itu mendapat komentar beragam dari netizen. Sensitivitas masyarakat terutama yang aktif di media sosial dipicu oleh berlarutnya ujian kehidupan terutama saat ini dengan munculnya wabah covid 19. Dan akibat berbagai ujian yang " mengecewakan " membuat suara suara sumbang datang silih berganti terutama menyangkut kebijaksanaan dan penanganan akan wabah yang terkesan carut marut karena tidak kompakan pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi  ancaman bersama.

Muncullah kritik, muncul beragam pendapat. Para musuh penguasa saat ini memanfaatkan situasi "chaos" dengan memanas - manasi masyarakat dengan tujuan memblow up ketidakbecusan pemerintah, ada yang kurang elok sebetulnya kritik saat ini bukan lagi mempermasalahkan kebijakan tapi lebih jauh  mengarah ke phisik, mengarah ke sosok. Maka sebetulnya kritik itu dibebaskan hanya jika mengarah ke penghinaan terhadap etnis, sosok, penghinaan pada budaya sebaiknya dipikirkan matang - matang.

Seniman yang berwawasan luas tidak akan membuat karya yang akan menjadi blunder. Mereka akan mengkritik tetapi jauh lebih halus, sehingga hanya terkesan tersindir tetapi tidak akan tersinggung oleh sebuah kritik visual.

Penulis jadi ingat beberapa buku koleksi. Buku tentang seni rupa terbitan Gramedia ditulis oleh pengamat seni terkenal Agus Dermawan T, Judulnya Bukit- Bukit Perhatian. Di bagian pertama Agus Dermawan T menyoroti seni rupa dan hubungannya dengan hutan politik.

Hubungan antara seniman dan politik ( partai politik ) naik turun. Ada sebuah kalimat menarik dari tulisan Agus. "Masuk Partai Politik ? Rasanya sudah kapok." Mengapa kapok kalau membaca lebih detail mengapa politik itu membuat kapok. Seniman itu yang berasal dari seniman miskin merasa bahwa janji - janji politik itu sungguh manis, memabukkan. Bisa jadi dengan bergabung ke partai politik ia akan menjadi diangkat derajatnya. Pada kenyataan janji manis berpolitik itu membuat mula mula memabukkan namun ternyata akhirnya setelah terjerumus ia hanya mendapat kenyataan bahwa politik itu hanyalah ajaran kemungkinan kemungkinan. Otto van Bismarck, Kanselir Prusia abad ke -19 mengatakan"Kemungkinan untuk tetap ada, dan kemudian digdaya. Atau kemungkinan antara ada dan tiada , atau kemungkinan punah sama sekali."

 Selanjutnya Agus menulis "kesenian yang sengaja ingin hidup di kosmologi politik, sungguhlah percuma." Hubungan seniman dan politik memang naik turun. Ada masa di mana seniman terpuruk dan banyak dibatasi ruang geraknya terutama di era orde baru banyak seniman yang tiarap terutama mereka yang semula masuk dalam organisasi terlarang Lekra yang disinyalir underbow PKI.

Kini di era kebebasan, dan demokratisasi kebebasan terjamin, namun saking bebasnya kadang ada seniman yang kebablasan dengan membuat gambar meme, atau gambar yang mengarah pada perisakan tokoh yang membuat terancam oleh pasal yang terdapat dalam UU ITE yaitu yang berhubungan dengan pasal penghinaan dapat dijerat hukum.

Pasang surut hubungan seniman rupa dan politik sudah tergambar sejak jauh hari, di masa silam seni rupa sesungguhnya selalu mempunyai kesempatan untuk mengkritik dan menggunggat kebijakan penguasa. Pada setiap tahapan sejarah kesenian terutama seni lukis selalu mempunyai cara untuk menggugat keadilan dan mengkritik penguasa dengan caranya.

mural kritikan terhadap penguasa (CNNIndonesia)
mural kritikan terhadap penguasa (CNNIndonesia)

Seniman berusaha memahami politik, berpolitik dengan bahasa gambar namun enggan terjun langsung menjadi bagian dari politik dan politisi. Lebih banyak yang memilih menjadi saksi dan perekam kejadian politik. Dalam media khususnya mural moral seniman diberdayakan. Kalaupun ada yang terpeleset dan menggambar dengan mengarah pada sosok itu sebetulnya tidaklah mewakili ketertindasan penuangan ide. Itu hanya penggiringan opini hingga terkesan penguasa terutama presiden saat ini seperti tertuduh sebagai penguasa zalim yang deman bila mendapat kritikan.

 Pada sebuah kesempatan Jokowi malah memberi penegasan bahwa aparat tidak usah terlalu reaktif terhadap kritik seperti yang kasus mural di Tangerang. Namun bagaimanapun mural adalah salah satu representasi moral seniman terutama pegiat mural di area publik. Gambar bisa mengarah pada kritik tajam tetapi hendaknya tidak melukai orang sebagai pribadi.

Penulis adalah Guru Seni Rupa, Menyenangi literasi dan Kompasianer sejak 2010.

Sumber referensi: Bukit Bukit Perhatian Dari seniman Politik. Lukisan Palsu Sampai Kosmologi Seni Bung Karno. Agus Dermawan T

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun