Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Senioritas di Blog Kompasiana Tidak Penting?

13 Agustus 2021   10:50 Diperbarui: 13 Agustus 2021   10:51 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan ingin menambah ruwet persoalan di Kompasiana, namun ini hanya sebuah opini dari kompasianer yang peduli Kompasiana. Mungkin opini ini tidak penting apalagi datang dari penulis yang produktifitasnya sedang sedang saja dan pembacanya ya tidak seheboh para penulis yang sering langganan K Reward. Penulis ingin bicara tentang senioritas dalam artian Kompasianer yang "kebetulan " sudah bergabung lama minimal 5 tahun ke atas.

Sudah diketahui umum bahwa akan terjadi perubahan setiap saat terhadap platform semacam Kompasiana, dulu Kompasiana mempunyai motto sharing and connecting. Saat ini Kompasiana lebih enjoy dengan Beyond Blogging. Saya kebetulan mengalami banyak hal saat Kompasiana masih dikatakan muda banget, baru berumur sekitar 2 tahun. Penulisnya pun belum bejibun seperti sekarang, Alam kemerdekaan menulis masih terbentang meskipun tetap ada aturan - aturan yang harus disepakati.

 Bersyukur akun belum pernah di banned atau terancam lenyap karena kesalahan fatal yang dibuat penulis. Tapi yang sangat sayang adalah tentang jumlah view yang mengalami maintenance dan perubahan sistem sehingga entah apakah ada artikel yang hilang atau jumlah keterbacaan yang menguap. Yang tahu hanya IT Kompasiana. Saya bergabung saat eranya Kang Pepih Nugraha, masih banyak senior - senor yang antusias kumpul kopi darat. Dengan antusias saya menulis dan pernah meliput reportase tentang penjaja rokok dan minuman yang digelandang satpol PP di Monas. Saya ceritakan menurut versi pandangan mata saya dan mendapat respon positif dari pembaca dan jumlahnya ribuan. Tapi gara - gara perubahan sistem rasanya pembaca dan view menguap.

Dulu tanpa reward dan bayaran kami happy happy saja karena banyak cerita indah yang bisa diceritakan terutama ketika bisa makan dan berkumpul di Hotel Santika Slipi, ketemu dengan tokoh pendiri Kompas Jacob Oetama, sering mengikuti seminar atau workshop, terus berkunjung ke kantor Kompasiana di Palmerah. Kegiatan ngopi bareng, terus ngobrol dengan Kompasianer dari berbagai latar belakang itu jelas menguatkan adrenalin. Mereka pernah malang melintang di dunia tulis menulis. Misalnya Bung Isson Chairul, Alm Thamrin Sonata, Pak Thamrin Dahlan, Muthiah Alhasany, Omjay, Alm Dian Kelana.  bahkan bisa ngobrol dengan pengamat intelijen, serta pensiunan Jendral, Prayitno Ramelan. Masih ada Mariska Lubis dan selebriti penulis yang bisa dikuping obrolannya.

Tentu saja Pepih Nugraha masih aktif waktu itu. Dan tidak terasa sejak gabung   dari Januari 2010 sampai kini kalau dihitung dengan jemari sudah masuk angka 12. Nah itu sebuah angka kesetiaan yang termasuk langka. Jadi bisa jadi dari sudut sejarah saya bisa jadi masuk kelas senior. Senior lebih karena pengalaman dan gagal move on dan masih setia sampai kini menulis di Kompasiana. Tentu saja pasang surut Kompasiana saya tahu, keluar masukkan penulis sumbu panjang dan sumbu pendek saya tahu. Mereka yang menulis karena ingin eksis dan mereka yang sekedar hobi dan tidak mengharap apa - apa dalam menulis  pengalaman selain sharing dan connecting. Suasana komentar di artikel kadang panas, saling serang, saling ejek. Ada kubu - kubuan yang membuat panas suasana tetapi itu hanya terjadi di dunia maya sedangkan ketika kumpul di dunia nyata tertawa bareng.

Saat ini apalagi pandemi ini rasa kangen kumpul lagi dan ngobrol benar- benar membuat kami merasa "kangen suasana dulu." Entah apakah saya mengalami post power sindrom atau sekedar egoisnya pikiran senior (dalam hal lamanya gabung Kompasiana). Sekarang memang muncul komunitas -- komunitas di Kompasiana. Kompasianer mempunyai wadah untuk bisa mengadakan kegiatan di luar menulis dengan webinar, kumpul komunitas, menonton bareng, mengadakan lomba menulis, mengadakan tur virtual.

Yang mengusik di hati dan menjadi ganjalan saat ini mungkin komunikasi. Antara admin, para kompasianer yang mengaku senior (termasuk saya ) dan Kompasianer Newbie, apalagi para penulis yang termasuk kategori junior itu telah menghebohkan jagad maya kompasiana. Mereka seperti mendapat angin dengan era digital saat ini, tahu bagaimana bisa meningkatkan jumlah keterbacaan melalui analisis di google, melalui blog walking, menyasar para pegiat media sosial instagram, Facebook You Tube, Instagram dan platform populer yang bisa mendongkrak artikel mendapatkan jejaring pembaca hingga naik berkali -- lipat.

Yang melongo ya seperti saya yang hanya bermodal menulis,jarang melakukan blogwalking, kurang meresapi moto Kompasiana baru yaitu beyond bloging. Bagi saya menulis ya menulis, kalau pengin sensasi ya cari cara dengan caper dengan admin, sok ngritik, mengiba, mengeluh mengapa tulisan begitu sepi dan semakin nelangsa ketika para milenial dan ahli tips dan tulisan suka- suka bisa merajai  Artikel Utama. Padahal saat menulis saya sudah mengerahkan berbagai cara agar berkualitas dan mengandung nilai -- nilai tuntunan dengan mengutip quote atau menambah mutu artikel dengan mencari referensi dari buku.

Tetap saja perasaan sudah menulis artikel bermutu itu hanya merangkak pelan sampai mentok di angka 100 an. Yang digambarkan dalam cerpen Mas Steven Chaniago mewakili kaum milenial yang cekatan dan jagoan dalam menjaring views dengan managemen digital dan kemampuan melakukan trik menjaring pembaca itu menjadi bahan introspeksi bagi para senior. Bahkan banyak senior merasa terusik dengan analogi cerpen pembaharu desa Konoha yang menganggap senior itu semakin kecil volume otaknya dan sering gagal move on karena terlalu mengandalkan ilmu lama yang dianggap masih mujarab.

Ternyata ketika zaman serba instan ini penulis harus pintar dan cekatan untuk menggerakkan jempol dan jari, aktif membobardir komunitas dengan menyisipkan artikel -- artikel yang sudah dipost di kompasiana, membuat kampanye agar tulisannya dibaca, merayu banyak youtuber, instagramer, ikut komunitas menulis, lalu ikut nimbrung komentar dan memberikan vote. Berkat budi baik perhatian maka dihadiahkan vote, dan komentar dan otomatis tingkat keterbacaan menjadi tinggi.

Zaman di mana follower dan viewer menjadi senjata utama untuk mendapatkan reward untuk perhitungan unique perview dan perolehan reward yang tinggi. Kepak saya yang lamban memahami bahasa aplikasi dan pengaruh google analitik untuk meningkatkan segi peningkatan viewer benar- benar membuat mabuk. Tujuan awal menulis ya menulis tetapi masa sekarang harus pandai membaca kemauan viewer. Mas Steven mempunyai trik untuk bisa menggait viewer dari perjuangannya lewat sigapnya jempol dan jari serta relasi komunitas pegiat medsos sanggup menggaji diri sendiri dengan seringnya mendapat reward tinggi yang membuat saya melongo kok bisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun