Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Artikel Utama

Di Sungai Pabelan Kenangan Masa kecil Itu Muncul "Bikin Baper"

25 Juli 2021   22:08 Diperbarui: 26 Juli 2021   20:42 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai Pabelan kini yang sering dikeruk pasirnya (Foto Joko Dwiatmoko)

Dulu, ketika sepulang sekolah kami bersama beberapa teman sering menyisir sungai, menapaki jalan setapak yang naik turun, menapaki tangga alami yang terbuat dari susunan batu sungai. Di tebing, tumbuh subur tanaman baik itu pohon kelapa maupun bambu, serta pohon nangka dan masih banyak tanaman lainnya yang akarnya memperkokoh tebing.

parit atau kalen yang mengairi sawah sawah desa (foto: Joko Dwiatmoko)
parit atau kalen yang mengairi sawah sawah desa (foto: Joko Dwiatmoko)
Ada banyak tanaman dihasilkan buah liar yang bisa kami petik, semacam jambu yang tumbuh di sepanjang alur tebing sungai, kalau haus kami minum tanpa ragu di pancuran yang mengalir dan meresap di tebing. Airnya bening dan bisa diminum tanpa takut ada kuman atau takut sakit perut. Sesekali, masuk ke ladang orang yang baru beberapa hari panen singkong, menyisir sisa-sisa ubi atau singkong yang masih tersisa di tanah.

Ubi yang kami temukan itu lalu dibersihkan tanahnya dan dicuci, di parit lalu dimakan begitu saja. Kadang keong, ikan kecil yang disebut uceng, tawes, udang sering kami temukan di sudut bebatuan yang ada di tepi sungai.

Ada seorang petani dari tetangga kampung yang ahli menangkap ikan belut besar. Kami menyebutnya pelus. Pelus itu biasanya ditemukan di bawah tebing sungai. Mencarinya dari lubang-lubang sekitar akar-akar pohon yang menjuntai ke sungai.

Setelah capai menyusur sungai, kami menanggalkan pakaian bahkan malah telanjang bulat lalu nyebur ke sungai untuk berenang. Sehabis sekolah masih banyak kesempatan sebagai orang desa untuk menyusur alam. Kalau pelajaran biologi dengan gampang menyebut beberapa tanaman karena kami memang melihat dan membuktikan di lapangan.

Itulah indahnya masa kecil, sekolah adalah kewajiban tapi bermain dan bertualang tetap prioritas.

Di sebelah utara desa adalah lembah sawah yang dikelilingi pohon-pohon besar. Ada pohon kelapa, nangka, pohon salam,pohon semutan, dadap, Waru, albasia, sengon, mangga, bambu dari jenis petung, apus, sampai bambu wulung yang berwarna hitam, serta tentunya pohon kelapa.

Banyak sungai-sungai kecil yang bisa kami telusuri dan pancuran air yang menjadi tempat mandi umum. Mata air ada di mana-mana. Bisa digambarkan bahwa desa kami subur makmur, tanahnya gembur karena berasal dari campuran abu Merapi,tanah vulkanis dengan banyak sungai dan anak sungai. Sawah-sawah ada menghijau sebab sistem irigasi masih memberi pemerataan air. Walaupun tidak dipungkiri masih saja ada oknum penduduk yang tamak, tidak mau berbagi air dan sering memonopoli air.

Sawah subur yang ada di dekat Sungai Pabelan (foto: Joko Dwiatmoko)
Sawah subur yang ada di dekat Sungai Pabelan (foto: Joko Dwiatmoko)
Naik dan menyeberang sungai bernama Mangu airnya berasal dari gunung Merbabu, sedangkan sungai Pabelan air berasal dari gunung Merapi. Kalau di sungai Merbabu tanahnya vulkanis sedangkan sebelah utara di mana banyak sungai berasal dari Merbabu, tanahnya kuning kecoklatan, lebih liat, yang kadang rawan longsor bila akar di tebingnya tidak mencengkeram kuat.

Kaki-kaki anak-anak kecil sudah terlatih untuk menyusur lembah bahkan pernah melakukan haiking menyusur jalan menuju ke Kopeng Salatiga, sampai ke gunung Andong. Kalau lebaran kami bisa jalan kaki 5 kilometer dan kalau pulang berarti 10 km PP untuk berkunjung ke sanak keluarga. Di perjalanan istirahat di sungai, duduk di bebatuan. Kalau lapar ada saja makanan alam yang bisa disantap.

Itulah memori masa lalu, setelah besar dan tinggal di kota besar gambaran sungai jernih itu akhirnya tinggal bayang-bayang, di Jakarta air parit keruh, airnya kotor, bau dan penuh lumpur menghitam. Ketika sempat tinggal di sekitar Kebayoran Baru, di tepi krukut, mengalami langganan banjir dan airnya berasal dari got dan limpahan toilet sehingga kotoran pun campur baur. Ini semacam gegar budaya, di desa suasana ramah tamah terasa, di kota sebagai kota urban dan tempat pendatang mencari rejeki, sikap-sikap individualis dan masa bodohlah yang mendominasi, dengan tetangga dekat saja belum tentu kenal dan saling sapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun